Bismillahirahmanirahim
Segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya, meminta pertolongan-Nya dan memohon ampunan dari-Nya serta meminta perlindungan kepada-Nya dari kejahatan diri dan kejelekan amalan kita. Siapa yang Allah tunjuki, maka tak akan ada yang dapat menyesatkannya, dan siapa yang Allah sesatkan maka tak ada yang dapat menunjukinya. Saya bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak untuk disembah kecuali Allah, dan saya bersaksi bahwa Rasulullah Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa 'Alihi wa Sallam adalah hamba dan utusan-Nya.
Berikut isi buku fiqih yang menggabungkan 5 mazhab terkenal yang mayoritas dianut oleh umat islam di dunia ini, yakni Imam Ja’far, Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad. Semoga pembaca sekalian dapat memahami fiqih masing2 mazhab tersebut dan dapat menambah kelimuan anda sekalian.
Dan atas izin Allah buku yang berjudul asli “al-Fiqh a’la al-Madzahib al-Khamsah, adalah karya terbaik Muhammad Jawad Mughniyah yang diterbitkan di Beirut pada tahun 1960. Buku ini merupakan kumpulan 5 ahli fiqih yang begitu gamblang ulasannya.
Semoga Allah merahmati penulis buku ini, penterjemah serta penerbitnya. Tak lupa semoga Allah juga selalu merahmati abang, sohib sekaligus guru saya Habib Alwin Assegaf... yang telah bersusah payah membimbing saya dengan mengirimkan postingan-postingan kepada saya berupa ilmu yang bermanfaat seperti salahsatunya postingan Fiqih 5 Mazhab ini...
Saya juga berdoa kepada Allah semoga apa yang saya upayakan melalui blog ini Allah meridhoinya dan dijadikan sebagai amal ibadah amin...
Kepada pembaca sekalian saya ucapkan selamat membaca...
RIWAYAT 5 IMAM MAZHAB
1. IMAM JA'FAR
(80-148H/699-765M)
Ja'far Ash-Shadiq adalah Ja'far bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib salâmullâhi ‘alaihi suami Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa 'Alihi wa Sallam
Beliau dilahirkan pada tahun 80 Hijriah (699 M). Ibunya bernama Ummu Farwah binti Al-Qasin bin Muhammad bin Abu Bakar As-Siddiq. Pada beliaulah terdapat perpaduan darah Nabi Shallallahu 'Alaihi wa 'Alihi wa Sallam dengan Abu Bakar As-Siddiq.
Beliau berguru langsung dengan ayahnya - Muhammad Al-Baqir - di sekolah ayahnya, yang banyak melahirkan tokoh-tokoh ulama besar Islam.
Ja'far Ash-Shadiq adalah seorang ulama besar dalam banyak bidang ilmu, seperti ilmu filsafat, tasauf, fiqh, kimia dan ilmu kedokteran. Beliau adalah Imam yang keenam dari dua belas Imam dalam mazhab Syi'ah imamiyah.
3 12 Imam: Ali bin Abi Thalib; Hasan bin Ali; Husein bin Ali; Ali Zainal Abidin Muhammad Al-Baqir; Ja'far Ash-Shadiq; Musa Al-Khadhim; Ali Ridha; Muhammad Al-Jawad; Ali Al-Hadi; Hasan Al-Askari; Mahdi Al-Muntadhar.
Dikalangan kaum sufi beliau adalah guru dan syaikh yang besar dan di kalangan ahli kimia beliau di anggap sebagai pelopor ilmu kimia. Di antaranya beliau menjadi guru Jabir bin Hayyam - ahli kimia dan kedokteran Islam. Dalam mazhab Syi'ah, fiqih Ja’fariahlah sebagai fiqih mereka, karena sebelum Ja'far Ash-Shadiq dan pada masanya tidak ada perselisihan. Perselisihan dan perbedaan pendapat baru muncul setelah masa beliau.
Ahli Sunnah berpendapat bahwa Ja'far Ash-Shadiq adalah seorang mujtahid dalam ilmu fiqh, yang mana beliau sudah mencapai ketingkat ladunni, beliau dianggap sebagai sufi ahli Sunnah di kalangan syaikh-syaikh mereka yang besar, serta padanyalah tempat puncak pengetahuan dan darah Nabi Shallallahu 'Alaihi wa 'Alihi wa Sallam yang suci.
Syahrastani mengatakan bahwa Ja'far Ash-Shadiq adalah seorang yang berpengetahuan luas dalam agama, mempunyai budi pekerti yang sempurna serta sangat bijaksana, zahid dari keduniaan, jauh segala hawa nafsu.
Imam Abu Hanifah berkata: "Saya tidak dapati orang yang lebih faqih dari Ja'far bin Muhammad".
George Zaidan berkata: "Diantara muridnya adalah Abu Hanifah (Wafat 150 H/767 M), Malik bin Anas (Wafat 179 H/795 M) dan Wasil bin Ata' (Wafat 181 H/797 M)". Abu Nuaim mengatakan babwa di antara murid beliau juga ialah Muslim bin Al-Hayaj, perawi hadis sahih yang masyhur. Bahkan riwayat lain mengatakan bahwa di Kufah, sedikitnya ada 900 orang Syaikh belajar kepada beliau di masjid Kufah.
Abu Zuhrah berkata: "Beliau (Ja'far Ash-Shadiq) berpandukan Kitab Allah (Al-Qur'an), pengetahuan serta pandangan beliau sangat jelas, beliau mengeluarkan hukum-hukum fiqh dari nash-nashnya, beliau berpandukan kepada sunnah, sesungguhnya beliau tidak mengambil melainkan hadis riwayat Ahli Bait (Keluarga Nabi Shallallahu 'Alaihi wa 'Alihi wa Sallam )".
2. IMAM ABU HANIFAH
(80-150H/699-767M)
Imam Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi, adalah Abu Hanifah An-Nukman bin Tsabit bin Zufi At-Tamimi. Beliau masih mempunyai pertalian hubungan kekeluargaan dengan Imam Ali bin Abi Thalib salâmullâhi ‘alaihi.
Imam Ali salâmullâhi ‘alaihi bahkan pernah berdoa bagi Tsabit, yakni agar Allah memberkahi keturunannya. Tak heran, jika kemudian dari keturunan Tsabit ini, muncul seorang ulama besar seperd Abu Hanifah.
Dilahirkan di Kufah pada tahun 150 H/699 M, pada masa pemerintahan Al-Qalid bin Abdul Malik, Abu Hanifah selanjutnya menghabiskan masa kecil dan tumbuh menjadi dewasa di sana. Sejak masih kanak-kanak, beliau telah mengkaji dan menghafal Al-Qur'an. Beliau dengan tekun senantiasa mengulang-ulang bacaannya, sehingga ayat-ayat suci tersebut tetap terjaga dengan baik dalam ingatannya, sekaligus menjadikan beliau lebih mendalami makna yang dikandung ayat-ayat tersebut. Dalam hal memperdalam pengetahuannya tentang Al-Qur'an beliau sempat berguru kepada Imam Asin, seorang ulama terkenal pada masa itu.
Selain memperdalam Al-Qur'an, beliau juga aktif mempelajari ilmu fiqh. Dalam hal ini kalangan sahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa 'Alihi wa Sallam, diantaranya kepada Anas bin Malik, Abdullah bin Aufa dan Abu Tufail Amir, dan lain sebagainya. Dari mereka, beliau juga mendalami ilmu hadis.
Keluarga Abu Hanifah sebenarnya adalah keluarga pedagang. Beliau sendiri sempat terlibat dalam usaha perdagangan, namun hanya sebentar sebelum beliau memusatkan perhatian pada soal-soal keilmuaan.
Beliau juga dikenal sebagai orang yang sangat tekun dalam mempelajari ilmu. Sebagai gambaran, beliau pernah belajar fiqh kepada ulama yang paling terpandang pada masa itu, yakni Humad bin Abu Sulaiman, tidak kurang dari 18 tahun lamanya. Setelah wafat guru-nya, Imam Hanifah kemudian mulai mengajar di banyak majlis ilmu di Kufah.
Sepuluh tahun sepeninggal gurunya, yakni pada tahun 130 H. Imam Abu Hanifah pergi meninggalkan Kufah menuju Makkah. Beliau tinggal beberapa tahun lamanya di sana, dan di tempat itu pula beliau bertemu dengan salah seorang murid Abdullah bin Abbas ra.
Semasa hidupnya, Imam Abu Hanifah dikenal sebagai seorang yang sangat dalam ilmunya, ahli zuhud, sangat tawadhu', dan sangat teguh memegang ajaran agama. Beliau tidak tertarik kepada jabatan-jabatan resmi kenegaraan, sehingga beliau pernah menolak tawaran sebagai hakim (Qadhi) yang ditawarkan oleh Al-Mansur. Konon, karena penolakannya itu beliau kemudian dipenjarakan hingga akhir hayatnya.
3. IMAM MALIK BIN ANAS
(93-179H/712-795M)
Imam Malik bin Anas, pendiri mazhab Maliki, dilahirkan di Madinah, pada tahun 93 H. Beliau berasal dari Kablah Yamniah. Sejak kecil beliau telah rajin menghadiri majlis-majlis ilmu pengetahuan, seliingga sejak kecil itu pula beliau telah hafal Al-Qur'an. Tak kurang dari itu, ibundanya sendiri yang mendorong Imam Malik untuk senantiasa giat menuntut ilmu.
Pada mulanya beliau belajar dari Ribiah, seorang ulama yang sangat terkenal pada waktu itu. Selain itu, beliau juga memperdalam hadis kepada Ibn Syihab, disamping itu juga mempelajari ilmu fiqh dari para sahabat.
Karena ketekunan dan kecerdasannya, Imam Malik tumbuh sebagai seorang ulama yang terkemuka, terutama dalam bidang ilmu hadis dan fiqh. Bukti atas hal itu, adalah ucapan Al-Dahlami ketika dia berkata: "Malik adalah orang yang paling ahli dalam bidang hadis di Madinah, yang paling mengetahui tentang keputusan-keputusan Umar, yang paling mengerti tentang pendapat-pendapat Abdullah bin Umar, Aisyah, dan sahabat-sahabat mereka, atas dasar itulah dia memberi fatwa. Apabila diajukan kepada suatu masalah, dia menjelaskan dan memberi fatwa".
Setelah mencapai tingkat yang tinggi dalam bidang ilmu itulah, Imam Malik mulai mengajar, karena beliau merasa memiliki kewajiban untuk membagi pengetahuannya kepada orang lain yang membutuhkan.
Meski begitu, beliau dikenal sangat berhati-hati dalam memberi fatwa. Beliau tak lupa untuk terlebih dahulu meneliti hadis-hadis Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa 'Alihi wa Sallam, dan bermusyawarah dengan ulama lain, sebelum kemudian mmberikan fatwa atas suatu masalah. Diriwayatkan, bahwa beliau mempunyai tujuh puluh orang yang biasa diajak bermusyawarah untuk mengeluarkan suatu fatwa.
Imam Malik dikenal mempunyai daya ingat yang sangat kuat. Pernah, beliau mendengar tiga puluh satu hadis dari Ibn Syihab tanpa menulisnya. Dan ketika kepadanya diminta mengulangi seluruh hadis tersebut, tak satu pun dilupakannya. Imam Malik benar-benar mengasah ketajaman daya ingatannya, terlebih lagi karena pada masa itu masih belum terdapat suatu kumpulan hadis secara tertulis. Karenanya karunia tersebut sangat menunjang beliau dalam menuntut ilmu.
Selain itu, beliau dikenal sangat ikhlas di dalam melakukan sesuatu. Sifat inilah kiranya yang memberi kemudahan kepada beliau di dalam mengkaji ilmu pengetahuan. Beliau sendiri pernah berkata:
"Ilmu itu adalah cahaya; ia akan mudah dicapai dengan hati yang takwa dan khusyu". Beliau juga menasehatkan untuk menghindari keraguan, ketika beliau berkata: "Sebaik-baik pekerjaan adalah yang jelas. Jika engkau menghadapi dua hal, dan salah satunya meragukan, maka kerjakanlah yang lebih meyakinkan menurutmu".
Karena sifat ikhlasnya yang besar itulah, maka Imam Malik tampak enggan memberi fatwa yang berhubungan dengan soal hukuman. Seorang muridnya, Ibnu Wahab, berkata: "Saya Mendengar Imam Malik (jika ditanya mengenai hukuman), beliau berkata: Ini adalah urusan pemerintahan." Iman Syafi'i sendiri pernah berkata: "Ketika aku tiba di Madinah, aku bertemu dengan Imam Malik. Ketika mendengar suaraku, beliau memandang diriku beberapa saat, kemudian bertanya: Siapa namamu? Akupun menjawab: Muhammad! Dia berkata lagi: Wahai Muhammad, bertaqwalah kepada Allah, jauhilah maksiat karena ia akan membebanimu terus, hari demi hari".
Tak pelak, Imam Malik adalah seorang ulama yang sangat terkemuka, terutama dalam ilmu hadis dan fiqh. Beliau mencapai tingkat yang sangat tinggi dalam kedua cabang ilmu tersebut. Imam Malik bahkan telah menulis kitab Al-Muwaththa', yang merupakan kitab hadis dan fiqh.
Imam Malik meninggal dunia pada usia 86 tahun. Namun demikian, mazhab Maliki tersebar luas dan dianut dibanyak bagian di seluruh penjuru dunia.
4. IMAM SYAFI'I
(150-204H/769-820M)
Imam Syafi'i, yang dikenal sebagai pendiri mazhab Syafi'i adalah:
Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i Al-Quraisyi. Beliau dilahirkan di Ghazzah, pada tahun 150 H, bertepatan dengan wafatnya Imam Abu Hanifah.
Meski dibesarkan dalam keadaan yatim dan dalam satu keluarga yang miskin, tidak menjadikan beliau merasa rendah diri, apalagi malas. Sebaliknya, beliau bahkan giat mempelajari hadis dari ulama-ulama hadis yang banyak terdapat di Makkah. Pada usianya yang masih kecil, beliau juga telah hafal Al-Qur'an.
Pada usianya yang ke-20, beliau meninggalkan Makkah mempelajari ilmu fiqh dari Imam Malik. Merasa masih harus memperdalam pengetahuannya, beliau kemudian pergi ke Iraq, sekali lagi mempelajari fiqh, dari murid Imam Abu Hanifah yang masih ada. Dalam perantauannya tersebut, beliau juga sempat mengunjungi Persia, dan beberapa tempat lain.
Setelah wafat Imam Malik (179 H), beliau kemudian pergi ke Yaman, menetap dan mengajarkan ilmu di sana, bersama Harun Al-Rasyid, yang telah mendengar tentang kehebatan beliau, kemudian meminta beliau untuk datang ke Baghdad. Imam Syafi'i memenuhi undangan tersebut. Sejak saat itu beliau dikenal secara lebih luas, dan banyak orang belajar kepadanya. Pada waktu itulah mazhab beliau mulai dikenal.
Tak lama setelah itu, Imam Syafi'i kembali ke Makkah dan mengajar rombongan jamaah haji yang datang dari berbagai penjuru. Melalui mereka inilah, mazhab Syafi'i menjadi tersebar luas ke penjuru dunia.
Pada tahun 198 H, beliau pergi ke negeri Mesir. Beliau mengajar di masjid Amru bin As. Beliau juga menulis kitab Al-Um, Amali Kubra, kitab Risalah, Ushul Al-Fiqh, dan memperkenalkan Wauljadid sebagai mazhab baru. Adapun dalam hal menyusun kitab Ushul Fiqh, imam Syafi'i dikenal sebagai orang pertama yang mempelopori penulisan dalam bidang tersebut.
Di Mesir inilah akhirnya Imam Syafi'i wafat, setelah menyebarkan ilmu dan manfaat kepada banyak orang. Kitab-kitab beliau hingga kini masih dibaca orang, dan makam beliau di Mesir sampai detik ini masih ramai di ziarahi orang. Sedang murid-murid beliau yang terkenal, diantaranya adalah: Muhammad bin Abdullah bin Al-Hakam, Abu Ibrahim bin Ismail bin Yahya Al-Muzani, Abu Ya'qub Yusuf bin Yahya Al-Buwaiti dan lain sebagainya-
5. IMAM AHMAD HAMBALI
(164-241 H/780-855 M)
Imam Ahmad Hambali adalah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal Al-Syaibani. Beliau dilahirkan di Baghdad pada bulan Rabiul Awal tahun 164 H (780 M).
Ahmad bin Hambal dibesarkan dalam keadaan yatim oleh ibunya, karena ayahnya meninggal ketika beliau masih bayi. Sejak kecil beliau telah menunjukkan sifat dan pribadi yang mulia, sehingga menarik simpati banyak orang. Dan sejak kecil itu pula beliau telah menunjukkan minat yang besar kepada ilmu pengetahuan, kebetulan pada saat itu Baghdad merupakan kota pusat ilmu pengetahuan. Beliau memulai dengan belajar menghafal Al-Qur'an, kemudian belajar bahasa Arab, Hadis, sejarah Nabi dan sejarah sahabat serta para tabi'in.
Untuk memperdalam ilmu, beliau pergi ke Basrah untuk beberapa kali, di sanalah beliau bertemu dengan Imam Syafi'i. Beliau juga pergi menuntut ilmu ke Yaman dan Mesir. Di antaranya guru beliau yang lain adalah Yusuf Al-Hasan bin Ziad, Husyaim, Umair, Ibn Humam dan Ibn Abbas. Imam Ahmad bin Hambal banyak mempelajari dan meriwayatkan hadis, dan beliau tidak mengambil hadis, kecuali hadis-hadis yang sudah jelas sahihnya. Oleh karena itu, akhirnya beliau berhasil mengarang kitab hadis, yang terkenal dengan nama Musnad Ahmad Hambali. Beliau mulai mengajar ketika berusia empat puluh tahun.
Pada masa pemerintahan Al-Muktasim - Khalifah Abbasiyah beliau sempat dipenjara, karena sependapat dengan opini yang mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk. Beliau dibebaskan pada masa Khalifah Al-Mutawakkil.
Imam Ahmad Hambali wafat di Baghdad pada usia 77 tahun, atau tepatnya pada tahun 241 H (855 M) pada masa pemerintahan Khalifah Al-Wathiq. Sepeninggal beliau, mazhab Hambali berkembang luas dan menjadi salah satu mazhab yang memiliki banyak penganut...
BAB1
THAHARAH
Kaum Muslimin sangat memperhatikan masalah thaharah. Banyak buku yang mereka tulis tentang hal itu. Mereka melatih dan mengajar anak-anak mereka berkenaan dengan thaharah. Ulama fiqih sendiri menganggap thaharah merupakan satu syarat pokok sahnya ibadah. Tidaklah berlebihan jika saya katakan, tidak ada satu agama pun yang betul-betul memperhatikan thaharah seperti agama Islam.
Thaharah menurut bahasa berarti bersih. Menurut istilah fuqaha (ahli fiqih) berarti membersihkan hadas atau menghilangkan najis, yaitu najis jasmani seperti darah, air kencing, dan tinja. Hadas secara maknawi berlaku bagi manusia. Mereka yang terkena hadas ini terlarang untuk melakukan shalat, dan untuk menyucikannya mereka wajib wudhu, mandi, dan tayammum.
Thaharah dari hadas maknawi itu tidak akan sempurna kecuali dengan niat taqarrub dan taat kepada Allah SWT. Adapun Thaharah dari najis pada tangan, pakaian, atau bejana, maka kesempurnaannya bukanlah dengan niat. Bahkan jika secarik kain terkena najis lalu ditiup angin dan jatuh ke dalam air yang banyak, maka kain itu dengan sendirinya menjadi suci. ' '
Thaharah dari hadas dan najis itu menggunakan air, sebagaima-na firman Allah SWT:
"... dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu .... " (Q.S. Al-Anfal : 11)
"... dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih ...." (Q.S. Al-Furqan: 48)
Thahur (pada ayat di atas) berarti suci pada dirinya sendiri dan menyucikan yang lain. Para ulama membagi air menjadi dua macam, berdasarkan banyak sedikitnya atau berdasarkan keadaannya, yaitu:
Air Muthlaq dan Air Musta'ma
Air Mudhaf.
Air Muthlaq
Air muthlaq ialah air yang menurut sifat asalnya, seperti air yang turun dari langit atau keluar dari bumi: Air hujan, air laut, air sungai, air telaga, dan setiap air yang keluar dari bumi, salju atau air beku yang mencair. Begitu juga air yang masih tetap namanya walaupun berubah karena sesuatu yang sulit dihindari, seperti tanah, debu, atau sebab yang lain seperti kejatuhan daun, kayu atau karena mengalir di tempat yang asin atau mengandung belarang, dan sebagainya.
Menurut ittifaq (kesepakatan) ulama, air muthlaq itu suci dan menyucikan. Adapun yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, bahwa tayammum lebih disukai daripada air laut, riwayat itu bertentangan dengan hadis Nabi Shallallahu 'Alaihi wa 'Alihi wa Sallam yang berbunyi:
"Siapa yang tidak dibersihkan oleh air laut, maka Allah tidak membersihkannya."
Air Musta'mal
Apabila kita membersihkan najis dari badan, pakaian, atau bejana dengan air muthlaq, lalu berpisahlah air bekas basuhan itu dengan sendirinya atau dengan jalan diperas, maka air yang terpisah itu disebut air musta'mal. Air semacam itu hukumnya najis, karena telah bersentuhan dengan benda najis, meskipun itu tidak mengalami perubahan apapun. Air itu tidak dapat digunakan lagi untuk membersihkan hadas atau najis.
Para ulama mazhab berkata: Apabila air berpisah dari tempat yang dibasuh bersama najis, maka air itu hukumnya menjadi najis. Kalau air itu berpisah tidak bersama najis, maka hukumnya bergantung pada tempat yang dibasuh. Jika tempat itu bersih, maka air itu pun suci. Sebaliknya, jia tempat itu kotor, maka air itu pun kotor. Hal itu tidak dapat dipastikan melainkan kita memperhatikan lebih dahulu tempat aliran air yang bersangkutan. Kalau hal itu tidak mungkin dilakukan, maka dianggap bahwa tempat yang dilalui air atau dibasuh itu bersih, sedangkan air yang terpisah dari tempat itu hukumnya najis.
Air musta'mal telah digunakan untuk berwudhu atau mandi sunnah, seperti mandi taubat dan mandi jum 'at, hukumnya suci dan menyucikan untuk hadas dan najis; artinya air itu dapat digunakan untuk mandi wajib, berwudhu, atau menghilangkan najis. Adapun air musta'mal yang telah digunakan untuk mandi wajib, seperti mandi junub, dan mandi setelah haid, maka ulama Imamiyah sepakat bahwa air itu dapat menyucikan najis tetapi berbeda pendapat tentang dapat tidaknya air itu digunakan untuk menghilangkan hadas dan berwudhu, sebagian mereka membolehkan dan sebagian lain melarang.
Catatan:
Apabila orang yang berjunub menyelam ke dalam air yang sedikit, setelah ia menyucikan tempat yang terkena najis, dengan niat membersihkan hadas, maka menurut Imam Hambali air itu menjadi musta'mal dan tidak menghilangkan janabah, malah orang itu wajib mandi lagi. Sedangkan Syafi'i, Imamiyah dan Hanafi berpendapat bahwa air itu menjadi musta'mal tetapi menyucikan janabah orang lersebut, sehingga ia tidak wajib mandi lagi.1
Air Mudhaf
Air Mudhaf ialah air perahan dari suatu benda seperti limau, tebu, anggur, atau air yang muthlaq pada asalnya, kemudian bercampur dengan benda-benda lain, misalnya air bunga. Air semacam itu suci, tetapi tidak dapat menyucikan najis dan kotoran. Pendapat ini me-rupakan kesepakatan semua mazhab kecuali Hanafi yang membolehkan bersuci dari najis dengan semua cairan, selain minyak, tetapi bukan sesuatu yang berubah karena dimasak. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Asy-Syahid Murtadha dari Imamiyah.
Semua mazhab, kecuali Hanafi, juga sepakat tentang tidak bolehnya berwudhu dan mandi dengan air mudhaf, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Rusyd di dalam kitab Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid dan kitab Majma' Al-Anhar.2
Hanafi berkata : "Seseorang musafir harus (boleh) berwudhu' dengan air perahan dari pohon kurma."
1 Ibnu Qudamah: Al-Mughni, jilid I, hal 22 cetakan ketiga dan ibnu Abidin , I;
hal. 140 cetakan Al-Maimaniyah.
2 Ibnu Rusyd, Bidayat Al-Mujtahid, hal. 32, cetakan 135 H. Dan kitab Majma Alr
Anhar, hal 37, cetakan Istambul
Ibnu Qudamah menyebutkan,3 bahwa mazhab Hanafi membolehkan berwudhu' dengan air mudhaf. Syaikh Shadiq dari Imamiyah berkata: "Sah berwudhu dan mandi junub dengan air mawar."
Hanafi mengambil dalil atas pendapatnya bahwa air mudhaf boleh digunakan untuk berwudhu, dari ayat Al-Qur'an :
"Maka jika tidak ada air, hendaklah kamu tanyammum dengan debu yang bersih.." (Q.S. Al-Maidah :6)
Menurut Hanafi, makna ayat itu adalah: Jika tidak ada air muthlaq dan air mudhaf, maka bertayammumlah. Tetapi jika ada air mudhaf, maka tayammum tidak dibolehkan. Mazhab lain berdalil dengan ayat ini juga untuk melarang pemakaian air mudhaf untuk berwudhu. Mereka berkata bahwa kata al-ma'u di dalam ayat itu maksudnya air muthlaq saja, tidak mencakup air mudhaf. Dengan demikian, maksud ayat di atas (Al-Maidah : 6) adalah:
"Apabila tidak ada air muthlaq, maka bertayammumlah...."
Air Dua Kullah
Semua mazhab sepakat, bahwa apabila air berubah warna, rasa, dan baunya karena bersentuhan dengan najis, maka air itu menjadi najis, baik sedikit atau banyak, bermata air ataupun tidak bermata air, muthlaq atau pun mudhaf. Apabila air itu berubah karena melewati bau-bauan tanpa bersentuhan dengan najis, misalnya ia berada di samping bangkai lalu udara dari bangkai itu bertiup membawa bau kepada air itu, maka air itu hukumnya tetap suci.
Apabila air bercampur dengan najis, sedangkan air itu tidak berubah sifatnya, maka Imam Malik berkata berdasarkan suatu riwayat: Air itu bersih, sedikit atau banyak. Sedang mazhab yang lain, berpendapat: Jika air itu sedikit menjadi najis, dan jika banyak tetap suci. Meskipun demikian, mereka berbeda pendapat dengan ukuran banyak sedikitnya.
Syafi'i dan Hambali berpendapat bahwa yang digolongkan banyak itu adalah dua kullah, seperti yang disebutkan oleh hadis:
"Apabila air sampai dua kullah, maka ia tidak najis".
Yang disebut dua kullah sama dengan 500 kati Iraq. Menurut sebagian syaikh Azhar, dua kullah ialah dua belas tankah. Imamiyah berkata: Yang disebut banyak itujika sampai satu karra, sebagaimana Hadis:
"Apabila air itu sampai satu karra, maka ia tidak menjadi najis. "
Satu karra sama dengan 1200 kali Iraq. Kira-kira 27 tankah. Hanafi berkata: Yang disebut banyak ialah jika air itu digerakkan di satu bagian, maka bagian yang lain tidak ikut bergerak.
Seperti yang telah kami jelaskan di atas, Imam Malik tidak memberikan penjelasan tentang dua kullah dan karra, dan tidak ada ukuran tertentu bagi air pada mazhab mereka, sedikit atau banyak sama saja. Yang penting, jika air itu berubah salah satu dari sifat-sifatnya, maka air menjadi najis; jika tidak, ia tetap suci. Pendapat ini sesuai dengan pendapat salah seorang Imamiyah, Ibnu Abi Aqil, berdasarkan hadis:
"Air itu pada dasarnya suci. la tidak menjadi najis oleh sesuatu kecuali berubah warna, rasa, dan baunya. "
Tetapi hadis di atas bersifat umum, sedangkan hadis dua kullah atau karra bersifat khusus, dan khusus mesti didahulukan daripada umum.
Imam Hanafi juga tidak memberikan ukuran dengan dua kullah dan karra, tetapi diukur dengan sistem gerakan sebagaimana tersebut di muka. Saya sendiri tidak mendapati penentuan dengan "gerakan" ini secarajelas atau athardi dalam Al-Qur'an dan Al-Hadis.
Catatan:
Syafi'i dan Imamiyah berkata: Cairan lain seperti cuka dan minyak, menjadi najis bila tersentuh najis, sedikit atau banyak, berubah atau tidak. Inilah yang dimaksud oleh ushul syara', seperti sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi wa 'Alihi wa Sallam yang telah dikenal:
"Apabila air itu sampai dua kullah maka tidaklah menajiskannya sesuatu ".
Air itu ialah air muthlaq.
Hanafi berkata: Hukum cairan selain air seperti air muthlaq, sedikit ataupun banyak. Sedikit najis yang menyentuh akan men-jadikan najis jika air berjumlah sedikit, dan tidak najis jika air itu banyak.
Di dalam Hasyiah Ibnu Abidin4
4 Ibnu Abidin, I, hal. 130, cetakan AI-Maimaniyah.
Hukum cairan itu seperti air menurut asalnya. Dengan demikian, jika ke dalam air perahan yang jumlahnya banyak bertumpah air kencing, maka air perahan itu menjadi najis; begitu pula darah, kaki pemerah tidaklah menajiskannya.
Air Mengalir dan Air Tenang
Mazhab-mazhab berbeda pendapat tentang air yang mengalir, Hanafi berkata: Setiap air yang mengalir, sedikit atau banyak berhubungan dengan benda atau tidak, tidaklah menjadi najis hanya karena bersentuhan dengan najis. Malah, jika ada air najis dalam sebuah bejana dan air bersih dalam bejana yang lain, kemudian kedua jenis itu dicurahkan dari tempat yang tinggi sehingga keduanya bercampur di udara dan jatuh kebawah, maka campuran kedua jenis air itu hukumnya suci. Begitu juga jika keduanya dialirkan diatas bumi.5
5 Ibnu Abidin, l, hal. 131.
Hanafi menolak pendapat bahwa kedua macam air dibawah ini, tidak menjadi najis jika bersentuhan dengan najis, yakni:
Pertama: Air tenang yang bila digerakkan salah satu bagiannya, bagian yang lain tidak ikut bergerak.
Kedua: Air mengalir dengan jalan apapun.
Adapun air sedikit yang tidak menjadi najis jika bersentuhan dengan benda najis, maka keadaannya seperti air tenang yang jumlahnya sedikit, yang jika digerakkan di satu bagian, bagian lain-nya ikut bergerak.
Mazhab Syafi'i tidak membedakan antara air mengalir dan air tenang yang memancar atau tidak, tetapi ditetapkan berdasarkan banyak dan sedikitnya air. Banyak ialah dua kullah: Bila bersentuhan dengan najis ia tidak menjadi najis. Sedangkan air yang kurang dari dua kullah akan menjadi najis jika bersentuhan dengan benda najis. Pendapat ini berdasarkan hadis:
"Apabila air sebanyak dua kullah, ia tidak membawa najis. "
Syafi'i berkata: Jika air yang mengalir itu cukup dua kullah dan tidak berubah walaupun ia bercampur barang najis, maka semua air itu suci. Jika air yang mengalir itu tidak sampai dua kullah, maka yang mengalir (bersama najis) itu hukumnya najis, sedangkan yang mengalir sebelum dan sesudahnya, hukumnya suci. Perbedaan pendapat antara Syafi'i dan Hanafi dalam hal air mengalir itujauh sekali. Hanafi berpendapat, bahwa "mengalir" itu walaupun sedikit, ada sebab yang menjadikannya suci, seperti contoh yang disebutkan di muka: Yakni sebuah bejana yang berisi air bersih, dan bejana lain yang berisi air kotor, maka keduanya menjadi suci jika dicampur denganjalan dialirkan.
Sedangkan Syafi'i tidak memperlihatkan jalan bercampurnya tetapi menekankan jumlahnya. Menurut Syafi'i, sekalipun sungai yang besar, bagian air yang mengalir bersama najis tetap najis hukumnya. Dan setiap bagian yang mengalir itu terpisah dari bagian lainnya.
Hambali berkata: Air yang tenang, bila kurang dari dua kullah menjadi najis walaupun hanya bersentuhan dengan najis, baik memancar ataupun tidak. Sedangkan air yang mengalir tidak menjadi najis jika bercampur dengan benda najis, kecuali berubah. Hukum-nya seperti air yang jumlahnya banyak. Pendapat ini dekat dengan pendapat Hanafi.
Adapun Maliki, seperti telah kami jelaskan, berpendapat bahwa air yang sedikit tidak menjadi najis dengan hanya bersentuhan dengan najis, dan tidak ada beda antara air yang mengalir dan air yang tenang. Jelasnya, mereka tidak memperhatikan perubahan air itu karena najis. Jika air itu berubah karena bersentuhan dengan najis, maka ia menjadi najis. Sebaliknya jika air itu tidak mengalami perubahan apa-apa, maka hukumnya tetap suci, baik sedikit mau" pun banyak, memancar atau tidak.
Imamiyah berkata: Tidak ada tanda untuk menentukan air itu mengalir atau banyak. Jika air itu berhubungan dengan air pancaran (mata air) walaupun perlahan maka dianggap air itu sama hukumnya seperti air banyak. la tidak menjadi najis dengan bersentuhan dengan najis, walaupun jumlah air itu sedikit dan berhenti. Sebab, pada mata air itu ada kekuatan pusat air dan air yang banyak. Apabila air itu tidak berhubungan dengan mata air, maka jika jumlahnya satu karra (dua kullah) tidak menjadi najis bila bersentuhan dengan benda najis, kecuali jika berubah salah satu sifatnya. Apabila jumlahnya tidak mencapai satu karra, maka air itu menjadi najis bila bersentuhan dengan najis, baik ia mengalir ataupun tidak. Hanya saja, apabila mengalir, bagian atas air itu tidaklah najis.
Air Menyucikan Najis
Apabila ada air yang sedikit menjadi najis dengan bersentuhan dengan najis, tetapi tidak mengalami perubahan sifat apapun, maka Imam Syafi'i berpendapat: Jika air itu dikumpulkan sampai cukup dua kullah, ia menjadi suci dan menyucikan najis, baik cukupnya itu karena bercampur dengan air suci maupun dengan air najis, danjika air itu dipisahkan ,tetap suci hukumnya. Jika seseorang mempunyai dua atau lebih bejana, dan tiap-tiap bejana itu mengandung najis, kemudian air-air najis itu dikumpulkan dalam satu tempat hingga mencapai dua kullah, maka air tersebut suci dan menyucikan.6
Hambali dan kebanyakan fuqaha Imamiyah berkata: Air yang sedikit itu tidak menjadi bersih dengan mencukupkannya menjadi dua kullah, baik dengan air bersih maupun dengan air najis. Karena mengumpulkan air najis dengan sejenisnya tidaklah menjadikan kumpulan itu suci. Begitu pula, air suci yang sedikit menjadi najis, dengan sentuhan air najis. Oleh karena itu, jika hendak bersuci, cukuplah air itu sampai satu karra atau dengan air pancaran menurut mazhab Imamiyah, sedangkan mazhab Hambali mewajibkan sampai dua kullah.
Menurut mazhab Syafi'i dan Hambali, apabila air yang banyak mengalami perubahan karena terkena najis, maka air itu dapat disucikan dengan hanya menghilangkan perubahan yang terjadi. Imamiyah berkata: Jika tidak ada mata air pada air yang banyak itu, maka tidaklah suci hanya dengan menghilangkan perubahannya; bahkan setelah hilang perubahannya kita masih harus memasukkan satu karra air suci ke dalamnya, atau menghubungkannya dengan mata air, atau ia bercampur sendiri dengan air hujan. Jika pada air itu ada mata air, maka ia suci dengan hilangnya perubahan yang terjadi, sekalipun sedikit.
Maliki berpendapat: Menyucikan air yang terkena najis itu dapat dengan cara mencurahkan air muthlaq di atasnya hingga hilang sifat najis itu.
Hanafi berpendapat: Air yang najis itu menjadi bersih dengan cara mengalirkannya. Jika ada air yang najis di dalam bejana, kemudian dicurahkan air ke atasnya hingga mengalir keluar dari tepi-tepinya, maka menjadi sucilah air itu. Begitu juga, jika ada air najis di dalam kolam atau lubang, kemudian digali lubang lain meskipun jaraknya dekat, dan dialirkan air najis pada saluran di antara kedua lubang itu sehingga semua air itu berkumpul pada satu lubang, maka semuanya menjadi suci. Jika air kembali menjadi najis karena suatu hal, maka dengan cara yang sama dapat dilakukan untuk menyucikannya, yaitu dengan menggali lubang lain dan mengalirkannya hingga berkumpul pada satu lubang. Begitu seterusnya.
Oleh karena itu, air yang tidak boleh anda gunakan untuk berwudhu ketika ia tenang, dapat anda gunakan dengan cara mengalirkannya dengan cara apapun. Bahkan,jika ada bangkai sekalipun didalamnya, atau orang kencing di bawahnya, tidak ada tanda bahwa air itu mengalir dan diketahui bahwa air itu tidak berhubungan dengan mata air, jika dialirkan, maka air itu menjadi suci.
Najis-Najis
Anjing: najis, kecuali mazhab Maliki yang berkata: Bejana yang dibasuh tujuh kali jika terkena jilatan anjing bukanlah karena najis melainkan karena ta'abbud (beribadat). Syafi'i dan Hambali berkata: Bejana yang terkena jilatan anjing mesti dibasuh sebanyak tujuh kali, satu kali diantaranya dengan tanah. Imamiyah berkata: Bejana yang dijilati anjing harus dibasuh sekali dengan tanah dan dua kali dengan air.
Babi: Semua mazhab, berpendapat bahwa hukumnya sama seperti anjing, kecuali mazhab Imamiyah yang mewajibkan mernbasuh bejana yang terkena babi sebanyak tujuh kali dengan air saja. Begitu juga hukumnya dengan bangkai tikus darat (yang besar).
Bangkai: Semua mazhab sepakat, bahwa bangkai binatang darat - selain manusia - adalah najis jika pada binatang itu keluar darah yang mengalir. Adapun bangkai manusia, Maliki, Syafi'i dan Hambali mengatakannya suci. Hanafi berpendapat, bangkai manusia itu najis, dan yang terkena dapat suci dengan mandi. Begitu juga pendapat Imamiyah, tetapi terbatas pada bangkai orang Islam. Dan semua mazhab sepakat bahwa kesturi yang terpisah dari kijang adalah suci.
Darah: Keempat mazhab sepakat bahwa darah adalah najis kecuali darah orang yang mati syahid, selama darah itu berada di atas jasadnya. Begitu juga halnya dengan darah yang tertinggal pada persembelihan, darah ikan, darah kutu, dan darah kepinding (tinggi) Imamiyah berkata: Semua darah hewan yang darahnya mengalir, juga darah manusia yang mati syahid atau bukan, adalah najis. Sedangkan darah binatang yang tidak mengalir darahnya, baik binatang laut atau binatang darat, begitu juga tinggalan pada persembelihan, hukumnya suci.
Mani: Imamiyah, Maliki dan Hanafi berpendapat bahwa mani anak Adam dan lainnya adalah najis, tetapi khusus Imamiyah mengecualikan mani binatang yang darahnya tidak mengalir, untuk binatang ini Imamiyah berpendapat, rnani dan darahnya suci, Syafi'i berpendapat, mani anak Adam suci, begitu pula semua binatang selain anjing dan babi, Hambali berpendapat mani anak Adam dan mani binatang yang dagingnya dimakan adalah suci; tetapi mani binatang yang dagingnya tidak dimakan adalah najis.
Nanah: Najis menurut empat mazhab dan suci menurut Imamiyah.
Kencing: Air kencing dan kotoran anak Adam adilah naps menurut semua mazhab.
Sisa Binatang: Ada dua kelompok binatang, yaitu yang terbang dan yang tidak terbang. Masing-masing kelompok itu dibagi menjadi dua, yaitu yang dagingnya dimakan dan yang dagingnya tidak dimakan. Kelompok binatang terbang yang dagingnya tidak dimakan misalnya burung ring dan elang (Maliki menghalalkan keduanya dimakan). Binatang tidak terbang yang dagingnya dimakan misalnya lembu dan kambing dan yang dagingnya tidak dimakan misalnya serigala, dan kucing (Maliki menghalalkan keduanya untuk dimakan). Ada beberapa pendapat dari masing-masing mazhab tentang sisa binatang-binatang tersebut. Syafi'i berkata: Semua sisa termasuk kotoran merpati, burung ciak dan ayam, hukumnya najis. Kotoran unta dan kotoran kambing najis. Kotoran kuda, bagal, dan lembu, semuanya najis. Imamiyah berkata: Sisa-sisa burung yang dagingnya dimakan ataupun tidak, semuanya suci; begitu juga hewan yang darahnya tidak mengalir, baik yang dagingnya dimakan maupun tidak. Adapun binatang yang mempunyai darah mengalir, jika dagingnya dimakan, seperti unta dan kambing maka sisanya suci; dan jika dagingnya tidak dimakan seperti beruang dan binatang buas lainnya maka sisanya najis. Dan setiap binatang yang dagingnya diragukan halal-haramnya, maka sisanya suci hukumnya. Hanafi berkata: Sisa-sisa binatang yang tidak terbang seperti unta dan kambing adalah najis. Adapun binatang terbang jika ia buang air besar di udara, seperti merpati dan burung ciak sisanya suci; jika buang air besar di bumi seperti ayam dan angsa maka sisanya najis. Hambali dan Syafi'i berkata: Sisa-sisa binatang yang dagingnya dimakan hukumnya suci; sedangkan sisa-sisa binatang yang darahnya mengalir dan dagingnya tidak dimakan hukumnya najis, baik yang terbang maupun tidak. Dan semua mazhab sepakat bahwa sisa binatang yang najis itu adalah najis.
Benda cair yang memabukkan: Adalah najis menurut semua mazhab. Tetapi Imamiyah menambahkan satu ketentuan, bahwa benda cair tersebut asalnya cair. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada upaya menjadikan benda memabukkan yang cair diubah menjadi beku untuk menghindari hukum najisnya, padahal hukumnya tetap najis. Ada baiknya jika kita petik kata-kata salah seorang pengarang fuqaha Imamiyah: Ulama Sunnah dan Syi'ah sepakat tentang najisnya arak, kecuali sebagian dari kami dan sebagian dari mereka yang menyalahi ketentuan ini, dan mereka tidak diakui oleh kedua kelompok.
Muntah: Hukumnya najis menurut empat mazhab dan suci menurut Imamiyah.
Madzi dan Wadzi: Keduanya najis menurut mazhab Syafi'i, Maliki dan Hanafi, serta suci menurut mazhab Imamiyah.
Hambali berpendapat madzi suci sedangkan wadzi najis.
Madzi adalah cairan yang keluar dari lubang depan ketika ada rangsangan seksual dan wadzi adalah air amis yang keluar setelah kencing.
Empat mazhab berpendapat bahwa muntah, madzi dan wadzi hukumnya najis, sedangkan Imamiyah berpendapat tidak. Bahkan Imamiyah satu-satunya mazhab yang berpendapat bahwa peluh orang yang junub, baik junub karena zina, liwat, dengan binatang, atau berusaha mengeluarkan mani dengan cara apa-pun, adalah najis.
Sisa Air dalam Bejana
Hanafi, Syafi'i dan Hambali berkata: Sisa air anjing dan babi hukumnya najis. Mereka juga sepakat bahwa sisa air dari bagal dan keledai itu suci tetapi tidak menyucikan. Hambali berkata: Tidak boleh berwudhu dengan sisa air dari semua binatang yang daging-nya tidak dimakan kecuali kucing hutan dan yang lebih kecil darinya seperd tikus dan Ibnu Am (hampir sama dengan tikus).
Hanafi menghubungkan sisa anjing dan babi itu dengan sisa peminum arak segera setelah ia meminumnya. Begitu juga halnya sisa kucing setelah makan tikus, sisa binatang buas seperti singa, serigala, harimau binatang dan harimau belang, musang, dan al-dhubu''7
7 Ibnu Abidin, I: 156.
Imamiyah berkata: Sisa air yang diminum binatang najis seperti babi dan anjing hukumnya najis. Sisa air yang diminum binatang bersih hukumnya suci, baik binatang yang dagingnya dimakan maupun tidak. Maliki berkata: Sisa air yang diminum anjing dan babi, suci dan menyucikan serta dapat diminum.8
Hukum Khalwat
Syafi'i, Maliki dan Hambali sepakat bahwa menghadap Kiblat atau membelakanginya ketika berhajat, dalam lindungan atau tempat lapang yang ada pelindungnya, hukumnya tidak haram. Mereka berselisih pendapat tentang berhajat di tempat lapang yang tidak terlindung.
Syafi'i dan Hambali berpendapat tidak haram, sedangkan Maliki berpendapat haram. Hanafi berpendapat, bahwa makruh berhajat di dalam ruangan dan haram berhajat di tempat lapang sehubungan dengan membelakangi atau menghadap Kiblat.
Imamiyah berkata: Haram menghadap Kiblat dan membelakanginya baik dalam ruangan atau di tempat lapang, ada pelindung ataupun tidak.
Semua mazhab sepakat bahwa air yang suci itu dapat menyucikan najis dari tempat keluar kencing dan tinja.
Empat mazhab berpendapat bahwa batu memadai untuk membersihkan keduanya. Imamiyah berpendapat: Tidak memadai menyucikan tempat keluar kencing kecuali dengan air. Adapun tempat keluar tinja, dapat memilih di antara basuhan air dan sapuan dengan tiga biji batu atau potongan-potongan kain kecil yang suci, hal ini (pilihan yang kedua) dilakukan jika najis itu tidak mengalir dari tempat keluarnya, jika mengalir maka hendaknya dibersihkan dengan air.9 Batu dan sejenisnya untuk menyapu itu jumlahnya dipastikan pada mazhab Imamiyah, Syafi'i dan Hambali, walaupun dengan kurang dari tiga biji sudah bersih. Tetapi Maliki dan Hanafi tidak menganggap jumlah batu itu sebagai syarat, hanya saja ia mengharuskan menyucikan najis dari tempat keluarnya, dengan benda cair yang bersih selain air.
end
BAB 2
YANG MENYUCIKAN NAJIS
Air Muthlaq: Air suci dan menyucikan, menurut kesepakatan para ulama mazhab,
Cairan selain air. Sesuatu yang cair dan suci adalah yang berpisah dari benda yang diperasnya, seperti cuka dan air mawar, maka air tersebut adalah menyucikan. Pendapat ini hanya menurut Hanafi saja.
Tanah: Dapat menyucikan telapak kaki dan sandal yang dipergunakan berjalan di atas tanah, atau dapat dipergunakan untuk menggosok sesuatu yang melekat di atas sandal, dengan syarat bahan najis itu dapat hilang, menurut Imamiyah dan Hanafi.
Matahari. Imamiyah: la dapat menyucikan tanah dan sejenisnya yang berada (melekat) di atas benda-benda yang tetap, seperti pohon-pohonan, daun-daunan, dan buah-buahan; juga yang ada (melekat) ditumbuh-tumbuhan, bangunan-bangunan, dan pasak-pasak yang dipergunakan untuk menahan tegaknya kemah dan sebagainya juga tikar-tikar, bukan berupa permadani dan tempat-tempat duduk, hanya Imamiyah mensyaratkan cara pengeringan tikar tersebut semata-mata mempergunakan sinar matahari, bukan dengan memakai hembusan angin. Hanafi: Sesuatu yang kering itu dapat menyucikan tanah dan pohon-pohonan, baik dikeringkan dengan sinar matahari atau kering dengan angin. Tetapi Syafi'i, Maliki dan Hambali sepakat bahwa tanah itu tidak bisa menyucikan, baik dengan sinar matahari atau dengan angin (udara) tetapi harus disiram dengan air, hanya mereka berbeda pendapat tentang cara menyucikannya.
Al-Istihalah, yakni: berubahnya hakekat sesuatu kepada hakekat sesuatu yang lain, seperti berubahnya darah kijang menjadi minyak kasturi. Menurut kesepakatan semua ulama mazhab, ia dapat menyucikan.
Api. Hanafi: Membakar najis dengan api. Pembakaran tersebut dapat menyucikan, dengan syarat bahan najis itu hilang, Hanafi memutuskan bahwa kalau menyucikan tanah yang najis sampai ia menjadi debu (tembikar), dan kalau minyak sampai menjadi sabun. Syafi'i dan Hambali: Api bukan sesuatu yang dapat menyucikan, bahkan mereka berpendapat bahwa abu najis, asapnya itu tetap najis. Maliki: Abunya itu adalah suci, tetapi asapnya tetap najis.
Imamiyah: Api tidak termasuk yang dapat menyucikan tetapi sucinya itu karena adanya (terjadi) perubahan, seperti perubahannya kayu pada abu, dan air yang najis berubah menjadi asap. Maka perubahan itulah yang menjadikannya suci, tetapi kalau perubahannya dari kayu menjadi arang dan tanah liat menjadi tembikar, maka keduanya tetap najis, karena sebenarnya tidak ada perubahan.
Samak. Hanafi: Samak itu dapat menyucikan kulit bangkai, dan setiap najis dapat disucikan dengan samak kecuali kulit babi. Kalau kulit anjing, ia juga dapat disucikan dengan disamak dan boleh dipergunakan untuk shalat. (Al-Fiqhu 'ala Al-Madzahib Al-Arba'ah, jilid I, dalam pembahasan izalatun najasah).
Syafi'i: Samak itu dapat menyucikan, kecuali kulit babi dan anjing. Dua kulit binatang tersebut tidak dapat disucikan dengan di samak. Maliki, Hambali dan Imamiyah tidak memasukkan samak ke dalam hal yang dapat menyucikan, hanya Hambali tetap membolehkan memakai sesuatu benda najis yang telah di samak, selain benda cair, yang sekiranya kalau dipakai najisnya tidak mencair ke mana-mana.
Busar (Sesuatu yang terurai) Hanafi: kapas itu bisa suci kalau ia telah terbusar (terurai).
Dalam proses, Hanafi: Kalau sebagian gandum terkena najis, dan sampai pada proses untuk dimakan, dihibahkan atau mau dijual pada gandum yang terkena najis itu, maka yang lain berarti suci. (Ibnu Abidin, Jilid I, halaman 119).
(Yang bisa) digosok. Hanafi: Mani itu bisa suci kalau bisa hilang dengan digosok, tanpa disiram (diguyur) dengan air.
(Yang bisa) dihapus. Hanafi: Kalau benda licin selicin besi, kuningan, dan kaca, maka yang terkena najis itu dapat suci dengan dihapus, tanpa disiram air.
Imamiyah: Menghilangkan najis dari tubuh binatang dengan apa saja yang dapat menyucikannya. Kalau di bejana, pakaian dan tubuh manusia, maka harus disucikan dengan air setelah bahan najisnya hilang.
Air Liur. Hanafi: Apabila puting payudara atau jari itu najis, maka cara menghilangkannya cukup dengan menjilatnya. (Ibn Abidin, Jilid l,halaman 215).
Didihkan. Hanafi: Apabila minyak, atau daging yang najis itu dididihkan dengan api, maka ia telah suci. Kelompok ahli fiqih Imamiyah: Jika anggur di didihkan maka ia najis, tapi bila duapertiganya lenyap (menguap), maka sisanya menjadi suci.
HAL-HAL YANG MEWAJIBKAN WUDHU DAN YANG MEMBATALKANNYA
Kencing, Kotoran dan Keluar Angin
Kaum Muslimin telah sepakat semua bahwa keluarnya kencing dan kotoran dari dua jalan (qubul dan dubur), serta angin dari termpat yang biasa, maka ia dapat membatalkan wudhu. Sedangkan keluarnya ulat, batu kecil, darah, dan nanah, maka ia dapat membatalkan wudhu, menurut Syafi'i, Hanafi dan Hambali. Tetapi menurut Maliki, tidak sampai membatalkan wudhu, kalau semuanya itu tumbuh di dalam perut, tapi kalau tidak tumbuh di dalamnya, seperti orang yang sengaja menelan batu kecil, lalu batu tersebut keluar dari tempat biasa (anus), maka ia dapat membatalkan wudhu. Imamiyah: la tidak membatalkan wudhu, kecuali kalau keluar bercampur dengan kotoran.
Madzi dan Wadzi
Menurut empat mazhab: la dapat membatalkan wudhu, tetapi menurut Imamiyah: Tidak sampai membatalkan wudhu. Hanya Maliki memberikan pengecualian bagi orang yang selalu keluar madzi. Orang yang seperti ini tidak diwajibkan berwudhu lagi.
Hilang Akal
Hilang akal karena mabuk, gila, pingsan, atau naik pitam, maka menurut kesepakatan semua ulama, ia dapat membatalkan wudhu. Tapi kalau masalah tidur, Imamiyah: Kalau hati, pendengaran dan penglihatannya tidak berfungsi sewaktu ia tidur, sehingga tidak dapat mendengar pembicaraan orang-orang disekitarnya dan tidak dapat memahaminya, baik orang yang tidur tersebut dalam keadaan duduk, terlentang atau berdiri, maka bila sudah demikian dapat membatalkan wudhu. Pendapat ini hampir sama dengan pendapat Hambali.
Hanafi: Kalau orang yang mempunyai wudhu itu tidur dengan terlentang, atau tertelungkup pada salah satu pahanya, maka wudhunya menjadi batal. Tapi kalau tidur duduk, berdiri, ruku' atau sujud, maka wudhunya tidak batal. Barangsiapa yang tidur pada waktu shalat dan keadaannya tetap dalam posisi seperti shalat, maka wudhunya tidak batal, walaupun tidur sampai lama. (Mizanul Sya'rani, dalam pembahasan asbahul hadats).
Syafi'i: Kalau anusnya tetap dari tempat duduknya, seperd mulut botol yang tertutup, maka tidur yang demikian itu tidak sampai membatalkan wudhu, tapi bila tidak, maka batal wudhunya.
Maliki: Membedakan antara tidur ringan dengan tidur berat. Kalau tidur ringan, tidak membatalkan wudhu, begitu juga kalau tidur berat dan waktunya hanya sebentar, serta anusnya tertutup. Tapi kalau ia tidur berat, dan waktunya panjang, ia dapat membatalkan wudhu, baik anusnya tertutup maupun terbuka.
Mani
Mani dapat membatalkan wudhu, menurut Hanafi, Maliki dan Hambali, tetapi menurut Syafi'i, ia tidak dapat membatalkan wudhu. Sedangkan menurut Imamiyah: Mani itu hanya diwajibkan mandi bukan diwajibkan berwudhu.
Menyentuh
Syafi'i: Kalau orang yang berwudhu itu menyentuh wanita lain tanpa ada aling-aling (batas), maka wudhunya batal, tapi kalau bukan wanita lain, seperti saudara wanita maka wudhunya tidak batal.
Hanafi: Wudhu itu tidak batal kecuali dengan menyentuh, di mana sentuhan itu dapat menimbulkan ereksi pada kemaluan.
Imamiyah: Menyentuh itu tidak membatalkan wudhu secara mutlak. Ini kalau sentuhan itu pada wanita. Begitu pula jika orang yang berwudhu itu menyentuh kemaluannya, baik anus maupun qubulnya. tanpa ada aling-aling maka menurut Imamiyah dan Hanafi: la tidak membatalkan wudhu.
Syafi'i dan Hambali: Menyentuh itu dapat membatalkan wudhu secara mutlak, baik sentuhan dengan telapak tangan maupun dengan belakangnya.
Maliki: Ada hadis yang diriwayatkan oleh mereka, yang membedakan antara menyentuh dengan telapak tangan. Yakni, jika ia menyentuh dengan telapak (bagian depan), maka membatalkan wudhu, tapi jika menyentuh dengan belakangnya tidak membatalkan wudhu. (Al-Bidayah wa Al-Nihayah, karya Ibnu Rusyd, dalam pembahasan nawaqidul wudhu).
Muntah
Menurut Hambali: la dapat membatalkan wudhu secara mutlak, tapi menurut Hanafi: la dapat membatalkan wudhu kalau sampai memenuhi mulut. Sedangkan menurut Syafi'i, Imamiyah dan Maliki: la tidak membatalkan wudhu.
Darah dan Nanah
Sesuatu yang keluar dari badan bukan dari dua jalan (qubul dan dubur), seperti darah, dan nanah, maka menurut Imamiyah, Syafi'i dan Maliki: la tidak membatalkan wudhu. Hanafi: la dapat membatalkan wudhu, jika mengalir dari tempat keluarnya.
Hambali: la dapat membatalkan wudhu dengan syarat darah dan nanah yang keluar itu banyak.
Tertawa
Tertawa itu dapat membatalkan shalat, menurut kesepakatan semua kaum Muslimin, tetapi tidak dapat membatalkan wudhunya ketika waktu shalat, maupun di luarnya kecuali menurut Hanafi.
Hanafi: Dapat membatalkan wudhu kalau ketawanya itu sampai terbaha-bahak di dalam shalat, tetapi di luar shalat tidak membatalkan wudhu.
Daging Unta
Kalau orang yang mempunyai wudhu itu memakan daging unta, maka wudhunya batal, pendapat ini hanya menurut Hambali saja.
Darah Haid
Al'allamah Al-Hilli dalam bukunya Al-Tadzkirah menjelaskan, beliau termasuk salah seorang ulama besar ahli fiqih dari kalangan Imamiyah: Darah haid itu kalau sakit, ia wajib berwudhu, begitulah menurut pendapat ulama kami, kecuali Ibnu Abi 'Uqail. Sedangkan menurut Maliki: Bagi orang yang haid tidak diwajibkan berwudhu.
end
BAB 3
TUJUAN/FUNGSI WUDHU
Para ulama fiqih berpendapat bahwa hadas itu dibagi menjadi dua bagian:
Pertama: Hadas kecil, yaitu yang hanya mewajibkan wudhu saja.
Kedua: Hadas besar, yang kedua ini pun dibagi dua: Ada yang hanya diwajibkan mandi saja, dan ada yang diwajibkan mandi dan wudhu secara bersamaan, keterangan lebih rinci tentang hal tersebut akan dijelaskan nanti.
Orang yang berhadas kecil dilarang melakukan beberapa hal di bawah ini:
Shalat, baik sunnah maupun wajib, menurut kesepakatan semua ulama. Hanya Imamiyah berpendapat lain tentang shalat jenazah. Bagi Imamiyah: Dalam shalat jenazah tidak diwajibkan berwuddhu, hanya disunnahkan saja, karena ia hanya mendo’akan saja pada dasarnya, bukan shalat yang sebenarnya. Keterangan lebih rinci akan dijelaskan nanti.
Thawaf, ia seperti shalat, maksudnya tidak sah melakukan thawaf tanpa berwudhu terlebih dahulu, begitulah menurut Maliki, Syafi'i, Imamiyah dan Hambali berdasarkan hadis: "Berthawaf di Baitullah adalah shalat". Hanafi: Barangsiapa yang berthawaf di Baitullah dalam keadaan hadas, ia tetap sah, sekalipun berdosa.
Sujud Tilawah dan sujud syukur juga wajib suci (berwudhu), menurut empat mazhab, tetapi menurut Imamiyah hanya disunnahkan.
Menyentuh Mushaf. Semua Mazhab sepakat bahwa tidak boleh menyentuh tulisan Al-Qur'an kecuali suci. Hanya mereka berbeda pendapat tentang orang yang berhadas kecil, apakah ia boleh menulis Al-Qur'an dan membacanya, baik ada Al-Qur'an-nya maupun tidak ada, dan menyentuhnya dengan aling-aling serta membawanya demi menjaganya.
Maliki: Tidak boleh menulisnya, menyentuh kulitnya walaupun dengan aling-aling, tetapi boleh melafalkan dengan membaca maupun tidak, atau sentuhannya dengan aling-aling dan membawanya demi menjaganya.
Hambali: Boleh menulisnya, dan membawanya demi menjaganya kalau dengan aling-aling.
Syafi'i: Tidak boleh menyentuh kulitnya, walau ia terpisah dengan isinya, juga tidak boleh menyentuh talinya selama ia masih melekat dengan Al-Qur'an, tetapi boleh menulisnya dan membawanya demi menjaganya sebagaimana boleh menyentuh sesuatu yang menjadi sulaman dari ayat-ayat Al-Qur'an.
Hanafi: Tidak boleh menulisnya dan menyentuhnya walau ditulis dengan bahasa asing, tetapi boleh membacanya tanpa memakai Al-Qur'an.
Imamiyah: Diharamkan menyentuh Al-Qur'an bertuliskan huruf Arab tanpa aling-aling (alas), baik tulisan tersebut di dalam Al-Qur'an maupun tidak, tetapi tidak diharamkan membaca dan menulis, membawa demi menjaganya dan menyentuh tulisan selain tulisan Arab, kecuali kata "Allah", maka diharamkan bagi orang yang berhadas menyentuhnya dalam bentuk tulisan apapun juga, dengan bahasa apapun dan dimana saja, baik yang ada di Al-Qur'an maupun bukan.
end
BAB 4
FARDHU-FARDHU WUDHU
Niat
Niat yaitu tujuan untuk berbuat (melakukan) dengan motivasi (dorongan) untuk mengikuti perintah-perintah Allah. Para ulama mazhab sepakat bahwa niat itu termasuk salah satu fardhu dalam wudhu dan tempatnya pada waktu melaksanakan wudhu itu.
Hanafi: Sahnya shalat tidak hanya tergantung pada wudhu dan niat; maka seandainya ada seorang yang mandi dengan tujuan hanya untuk mendinginkan badannya atau untuk membersihkannya, kemudian membasahi semua anggota wudhu, lalu ia shalat, maka shalatnya adalah sah, karena tujuan final dari wudhu itu adalah suci, sedangkan kesucian dengan mandi tersebut telah tercapai, lianya Hanafi mengecualikan sesuatu yang bercampur dengan sisa-sisa keledai atau anggur yang tcrbuat dari kurma. Dalam masalah ini mereka (Hanafi) menegaskan dengan wajibnya niat. (Ibnu Abidin, Jilid I, halaman 76).
Membasuh Muka
Yang dimaksud dengan membasuh muka adalah mengalirkan air pada muka. la wajib cukup satu kali saja. Batasnya dari tumbuhnya rambut sampai pada ujung dagu.
Syafi'i: Juga wajib membasahi sesuatu yang di bawah dagu.
Imamiyah dan Maliki: Batasnya seluas ibu jari dan telunjuk.
Mazhab-mazhab yang lain: Batas membasuh muka itu dari anak kuping kiri ke anak kuping kanan.
Empat mazhab: Kewajibannya itu hanya membasuh muka, sedangkan memulai dari atas itu adalah lebih utama.
Membasuh Dua Tangan
Kaum Muslimin sepakat bahwa membasuh dua tangan sarnpai dua siku-sikunya satu kali adalah wajib.
Imamiyah: Wajib memulainya dari dua siku-siku dan batal bila sebaliknya, sebagairnana Imamiyah mewajibkan mendahulukan tangan yang kanan dari tangan yang kiri.
Mazhab-mazhab yang lain:
Yang wajib itu adalah membasuhnya, sedangkan mendahulukan tangan yang kanan dan memulai dari jari jemari adalah lebih utarna.
Mengusap Kepala
Hambali: Wajib mengusap semua kepala dan dua telinga. Sedangkan mandi, menurut Hambali adalah cukup sebagai pengganti dari mengusap, dengan syarat melewatkan kedua tangannya di atas kepala.
Maliki; Wajib mengusap semua kepala tanpa telinga.
Hanafi: Wajib mengusap seperempat kepala, tetapi cukup dengan memasukkan kepala ke dalam air atau menuangkan air di atas kepalanya.
Syafi'i: Wajib mengusap sebagian kepala, sekalipun sedikit. Tetapi cukup dengan membasahi atau menyiram sebagai pengganti dari mengusap.
Imamiyah: Wajib mengusap sebagian dari depan kepala, dan cukup dengan sangat sedikit sepanjang bisa dinamakan mengusap kepala, tetapi tidak boleh membasahi dan tidak boleh pula menyiraminya, sebagaimana Imamiyah mewajibkan mengusapnya dengan basahan wudhu, dan jika digunakan air baru serta mengusap dengannya, maka wudhunya batal.
Empat mazhab: Wajib mengusap dengan air baru. (Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah,jilid I, dalam bab mashurra'si, dan juga di Tadzkirah, 'Allamah Al-Hilli).
Kalau mengusap surban, maka Hambali telah membolehkannya, dengan sebagian surban itu berada di bawah dagu. Hanafi, Syafi'i dan Maliki: boleh kalau ada udzur, tetapi bila tidak, tidak boleh.
Imamiyah: Tidak boleh mengusap surban, berdasarkan firman Allah:
"Dan usaplah kepala-kepala kalian". Sedangkan surban tidak bisa dinamakan kepala.
DuaKaki
Empat mazhab: Wajib membasuhnya sampai mata kaki satu kali.
Imamiyah: Wajib mengusapnya dari ujung jari-jemari sampai pada mata kaki.
Kesepakatan ulama mazhab: Boleh mendahulukan yang kanan dari yang kiri. Perbedaan apakah mengusap atau membasuh dua kaki itu sebenarnya bersumber dari pemahaman ayat 6 surat Al-Maidah:
"Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu menegakkan shalat, maka basuhlah muka-muka kamu, kedua langan kamu sampai siku-siku, dan usaplah kepala-kepala kamu dan kaki kamu sampai dua mata kakinya".
Kata arjul ada yang membaca dengan kasrah, yaitu arjulikum, dan ada yang membacanya dengan fathah, yaitu arjulakum. Maka orang yang berpendapat dengan cukup mengusap berarti menjadikan kata arjul itu athaf kembali pada kata ru 'us sekaligus membacanya kasrah, dan kedudukan nashabnya fil mahalli (berada di tempat), karena setiap yang dikasrahkan lafadznya ia di-nashab-kan (di-fathah-kan) pada mahal (tempat).
Dan orang berpendapat dengan membasuh, ia mengatakan bahwa arjul itu di-nashab-kan (di-fathah-kan) dengan menjadikannya athaf kembali pada kata aidiya. Silahkan membaca Tafsir Ar-Razi.
Empat mazhab: Boleh mengusap sepatu dan kaos kaki sebagai pengganti dari membasuh dua kaki.
Imamiyah: Tidak boleh, berdasarkan perkataan Imam Ali salâmullâhi ‘alaihi:
"Saya tidak mengamalkan, apakah saya mengusap dua khuf (sepatu) atau punggung unta di padang Sahara".
Tertib
Tertib ini berdasarkan keterangan ayat, yaitu: Dimulai dari muka, lalu dua tangan, lalu kepala, lalu dua kaki. la wajib sekaligus syarat sahnya wudhu, menurut Imamiyah, Syafi'i dan Hambali.
Hanafi dan Maliki: Tidak wajib tertib, dan boleh dimulai dari dua kaki dan berakhir di muka.
Muwalat
Yaitu berurutan antara membasuh anggota-anggota wudhu dan apabila telah selesai dari satu anggota lalu pindah (melakukan) pada anggota selanjutnya dengan segera.
Imamiyah dan Hambali: Wajib muwalat, hanya Imamiyah mensyaratkan tidak sampai kering anggota yang dibasuh itu sebelum melanjutkan anggota sesudahnya. Kalau sampai kering anggota wudhu itu, maka batallah wudhunya, dan berarti wajib memulai lagi.
Hanafi dan Syafi'i: Tidak wajib muwalat, hanya dimakruhkan memisahkan dalam membasuh antar anggota-anggota wudhu itu kalau tidak udzur, bila ada udzur, maka hilanglah kemakruhan itu.
Maliki: Muwalat itu diwajibkan hanya bagi orang yang berwudhu dalam keadaan sadar, dan tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa ia tidak sadar, sebagaimana kalau ia menuangkan air yang dianggapnya untuk wudhu, maka kalau ia membasuh mukanya, lalu lupa membasuh dua tangannya, atau air yang akan dipergunakan untuk wudhu itu telah habis, maka kalau mengikuti keyakinannya berarti ia telah melakukan sesuatu yang dibangun di atas keyakinannya, sekalipun telah lama.
end
BAB 5
SYARAT-SYARAT WUDHU
Wudhu itu mempunyai beberapa syarat, diantaranya adalah: Airnya harus muthlak dan suci, dan tidak dipergunakan untuk menghilangkan kotoran dan hadas, sebagaimana yang telah kami jelaskan dalam bab air. Juga tidak ada larangan untuk mempergunakan air baik karena sakit atau karena sangat membutuhkannya. Dan anggota-anggota wudhu itu suci, tidak ada batas yang mencegah sampainya air ke kulit. Juga waktunya luas. Keterangan lebih rinci akan dijelaskan nanti dalam bab tayammum. Semua syarat-syarat ini kebanyakan telah disepakati oleh semua ulama mazhab.
Imamiyah: Mensyaratkan bahwa air, bejana, dan tempat orang yang berwudhu harus halal, bukan rampasan dari orang lain (ghashab). Kalau salah satu dari hal tersebut ada yang ghasab, maka batallah wudhunya, tetapi menurut mazhab-mazhab lain, wudhunya tetap sah., hanya ia berdosa (Ibnu Abidin,]ilid I, halaman 128, dan Syarhul Muhadzdzab, jilid I, halaman 251).
SUNNAH-SUNNAH WUDHU
Sunnah-sunnah wudhu sangat banyak sekali, diantaranya: Memulai dengan membasuh kedua telapak tangan, kumur-kumur, dan menghirup air ke dalam hidung lalu dihembuskan (dalam dua hal ini Hambali mewajibkannya); mengusap dua telinga, dimana dalam hal ini Hambali juga mewajibkannya, sedangkan Imamiyah tidak membolehkannya; memakai siwak (sikat gigi) dan menghadap Kiblat ketika berwudhu; berdoa dengan doa ma'tsur dan setiap membasuh rnuka, tangan, sampai tiga kali, menurut empat mazhab.
Imamiyah: Basuhan pertama adalah wajib, sedangkan kedua kalinya adalah disunnahkan, tapi ketiga kalinya adalah bid'ah, dan orang yang mengerjakannya adalah dosa kalau ketika melaksana kannya berniat mengikuti syara', tapi kalau tidak berniat seperti itu, maka tidaklah dosa, hanya wudhunya menjadi batal kalau mengusapnya dengan air tersebut (Misbahul Faqih, karya Agha Ridha Al-Hamdani). Dalam buku tersebut dijelaskan secara panjang lebar tentang sunnah-sunnah wudhu, dan sangat banyak dengan keterangan yang rinci
Ragu Antara Suci dan Hadas
Barangsiapa yang yakin suci lalu ragu apakah ia berhadas, maka berarti ia suci. Tetapi sebaliknya, barangsiapa yang yakin berhadas lalu ragu apakali ia suci, maka berarti ia telah berhadas. Berdasarkan hadis:
"Keyakinan itu selamanya tidak akan dirusak oleh keraguan, tetapi
keyakinan itu dapat dirusak oleh keyakinan yang serupa".
Tidak ada satu mazhab pun yang menentangnya kecuali Maliki yang mengatakan bahwa kalau seseorang itu telah yakin dengan keadaannya yang suci, lalu ragu apakah ia berhadas, maka ia tetap suci dan tidak dibedakan tentang sebaliknya.
Kalau ia merasa suci dan juga merasa berhadas, serta ia tidak mengetahui mana yang benar diantara keduanya, maka berarti ia telah suci menurut Hanafi, tetapi menurut para peneliti Imamiyah justru sebaliknya yaitu berhadas.
Syafi'i dan Hambali: Harus diambil sebaliknya dari keadaan yang sebelumnya. Berarti kalau pertamanya ia suci, maka sekarang ia berhadas, dan kalau pertamanya ia berhadas, maka sekarang ia suci.
Dalam masalah ini ada pendapat keempat, yaitu: Mengambil keadaan yang pertama, dan hukumnya dengan menggugurkan bekas hadas dan suci yang ada, karena keduanya mempunyai kemungkinan yang sama. Dari itu keduanya bertentangan dari keduanya sama-sama gugur, maka yang ada tinggal perasaan sebelum ragu. Dan yang lebih dekat serta lebih baik dalam agama adalah mengulangi lagi secara mutlak, baik keadaan yang pertama diketahui maupun tidak.
Imamiyah dan Hambali: Kalau orang yang berwudhu itu ragu ketika membasuh salah satu anggota wudhu atau ragu mengusap kepalanya dan pada saat itu sedang berwudhu, maka hendaknya ia mengulangi lagi yang diragukannya itu dan yang sesudahnya. Kalau ragunya setelah selesai dari wudhu, maka ia tidak usah memperdulikannya, karena ia ragu dalam beribadah setelah melaksanakannya.
Al 'Allamah Al-Hilli menukil dalam bukunya Tadzkirah dari sebagian Syafi'i tentang tidak dibedakannya apakah ia ragu ketika sedang berwudhu maupun sesudahnya, karena pada dasarnya ia tetap wajib, mengulangi (melakukan) yang diragukannya itu dan sesudahnya pada dua keadaan tersebut.
Hanafi: Hendaknya memperhatikan anggota yang terpisah. Kalau ia ragu pada anggota yang terpisah itu sebelum pindah melakukan yang lain, ia harus mengulanginya lagi. Bila tidak, maka tidak usah. Contohnya: Orang yang ragu tentang membasuh muka sebelum mulai membasuh dua tangannya, maka ia harus mengulangi lagi membasuh muka. Tapi kalau sudah mulai membasuh tangannya, maka hendaknya ia tidak usah memperhatikannya.
Semua ulama mazhab sepakat bahwa tidak dihitung (dianggap) bagi orang yang selalu (sering) ragu. Maksudnya orang yang selalu was-was, rasa ragunya tidak dianggap ragu. Dari itu, ia wajib meneruskan ibadahnya dalam setiap keadaan
end
BAB 6
MANDI
Macam-macam Mandi Wajib yaitu:
Junub
Haid
Nifas
Orang Islam yang meninggal dunia.
Keempat hal ini telah disepakati semua ulama mazhab.
Hambali: Menambah satu hal lagi, yaitu: Ketika orang kafir memeluk agama Islam.
Syafi'i dan Imamiyah: Kalau orang kafir itu masuk Islam dalam keadaan junub, maka ia wajib mandi karena. junubnya, bukan Islamnya. Dari itu, kalau pada waktu masuk Islam ia tidak dalam keadaan junub, ia tidak diwajibkan mandi.
Hanafi: la tidak diwajibkan mandi, baik junub maupun tidak (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Jilid I, hal. 207).
Imamiyah: Menambah dua mandi lagi dari empat macam di atas, yaitu: Mandi istihadhah, dan mandi ketika menyentuh mayat. Mereka (Imamiyah) mewajibkan mandi bagi yang menyentuh mayat yang telah dingin, dan mayat tersebut belum dimandikan. Keterangan lebih rinci akan dijelaskan nanti.
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa jumlah mandi wajib itu sebanyak empat, menurut Hanafi dan Syafi'i; dan menurut Hambali dan Maliki ada lima; sedangkan menurut Imamiyah ada enam.
Mandi Junub
Junub mewajibkan mandi itu ada dua, yaitu:
Keluar mani, baik dalam keadaan tidur maupun bangun. Imamiyah dan Syafi'i: Kalau mani itu keluar maka ia wajib mandi, tak ada bedanya, baik keluar karena syahwat maupun tidak. Hanafi, Maliki dan Hambali: Tidak diwajibkan mandi kecuali kalau pada waktu keluarnya itu merasakan nikmat. Kalau mani itu keluar karena dipukul, dingin, atau karena sakit bukan karena syahwat, maka ia tidak diwajibkan mandi. Tapi kalau mani sudah terpisah dari suibi lelaki atau dari tulang dada wanita dan mani belum sampai pindah keluar (pada yang lain), maka ia tidak diwajibkan mandi, kecuali menurut Hambali. (Masalah) kalau orang yang tidur telah sadar (bangun), lalu ia melihat basah, tetapi ia tidak mengetahui apakah yang basah itu mani atau madzi. Hanafi: Wajib mandi. Syafi'i dan Imamiyah: Tidak wajib, karena suci meyakinkan, sedangkan hadas diragukan. Hambali: Kalau sebelum tidur ia telah memikirkan hal-hal yang nikmat (berpikir tentang yang porno-pent), maka ia tidak diwajibkan mandi, tapi kalau sebelum tidur tidak ada sebab (gejala) yang menimbulkan kenikmatan, maka ia diwajibkan mandi, karena basah yang tidak jelas itu.
Bertemunya dua kemaluan (bersetubuh), yaitu memasukkan kepala zakar atau sebagian dari hasyafah (kepala zakar) ke dalam faraj (kemaluan) atau anus, maka semua ulama mazhab sepakat dengan mewajibkan mandi, sekalipun belum keluar mani. Hanya mereka berbeda pendapat tentang beberapa syarat; apakah kalau tidak dimasukkan, yakni sekedar saling sentuhan antara dua kemaluan itu, diwajibkan mandi atau tidak?
Hanafi: Wajibnya mandi itu dengan beberapa syarat; yaitu:
Pertama, baliqh. Kalau yang baligh itu hanya yang disetubuhi, sedangkan yang menyetubuhi tidak, atau sebaliknya, maka yang mandi itu hanya yang baligh saja, dan kalau keduanya sama-sama kecil, maka keduanya tidak wajibkan mandi.
Kedua, harus tidak ada batas (aling-aling) yang dapat mencegah timbulnya kehangatan.
Ketiga, orang yang disetubuhi adalah orang yang masih hidup. Maka kalau memasukkan zakarnya kepada binatang atau kepada orang yang telah meninggal, maka ia tidak diwajibkan mandi.
Imamiyah dan Syafi'i: Sekalipun kepala zakar itu tidak masuk atau sebagiannya saja juga belum masuk, maka ia sudah cukup diwajibkannya mandi, tak ada bedanya baik baligh maupun tidak, yang menyetubuhi maupun yang disetubuhi ada balas (aling-aling) maupun tidak, baik terpaksa maupun karena suka, baik yang disetubuhi itu masih hidup maupun sudah meninggal, baik pada binatang maupun pada manusia.
Hambali dan Maliki: Bagi yang menyetubuhi maupun yang disetubuhi itu wajib mandi, kalau tidak ada batas (aling-aling) yang dapat mencegah kenikmatan, tak ada bedanya baik pada binatang maupun pada manusia, baik yang disetubuhi itu masih hidup maupun yang sudah meniggal.
Kalau yang telah baligh, Maliki: Bagi yang menyetubuhi itu wajib mandi kalau ia telah mukallaf dan juga orang yang disetubuhi. Bagi orang yang disetubuhi wajib mandi, kalau yang menyetubuhi. Bagi orang yang disetubuhi wajib mandi, kalau yang menyetubuhinya sudah baligh, tapi kalau belum baligh atau masih kecil, maka ia tidak diwajibkan mandi kalau belum sampai keluar mani.
Hambali: Mensyaratkan bahwa lelaki yang menyetubuhi itu umurnya tidak kurang dari sepuluh tahun, bagi wanita yang disetubuhi itu tidak kurang dari sembilan tahun.
Sesuatu Yang Mewajibkan Mandi Junub
Semua perbuatan yang mewajibkan wudhu pada dasarnya mewajibkan mandi junub, seperti shalat, thawaf, dan menyentuh Al-Qur'an, lebih dari itu yaitu berdiam di masjid.
Semua ulama mazhab sepakat bahwa bagi orang junub tidak boleh berdiam di masjid, hanya berbeda pendapat tentang boleh tidaknya kalau ia lewat di dalamnya, sebagaimana kalau ia masuk dari satu pintu ke pintu lainnya.
Maliki dan Hanafi: tidak boleh kecuali karena sangat darurat (penting).
Syafi'i dan Hanafi: Boleh kalau hanya lewat saja, asal jangan berdiam.
Imamiyah: Tidak boleh berdiam dan melewati kalau di Masjidil Haram dan Masjid Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa 'Alihi wa Sallam (Masjid Nabawi di Madinah), tetapi kalau selain dua masjid tersebut boleh melewatinya, tapi kalau berdiam, tetap tidak boleh di masjid mana saja, berdasarkan keterangan ayat 43 surat An-Nisa':
"(jangan pula) hampiri masjid sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja".
Maksud ayat tersebut di atas, dilarang mendekati masjid-masjid yang dijadikan tempat shalat, kecuali kalau ia hanya melewatinya saja. Ayat tersebut mengecualikan dua masjid, yaitu Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, karena ada dalil khusus yang menunjukkannya berbeda (pengecualian).
Sedangkan membaca Al-Qur'an, Maliki: Bagi orang yang junub diharamkan membaca sesuatu yang dari Al-Qur'an, kecuali sebentar dengan maksud untuk memelihara (menjaga) dan menjadikannya sebagai dalil (bukti). Pendapat ini hampir sama dengan pendapat Hambali.
Hanafi: Bagi orang yang junub tidak boleh membacanya, kecuali kalau ia jadi guru mengaji Al-Qur'an yang menyampaikannya (men-talqin; mengajarnya) kata perkata.
Syafi'i: Bahkan satu huruf pun bagi orang yang junub tetap diharamkan, kecuali hanya untuk dzikir (mengingat), seperti menyebutnya pada waktu makan.
Imamiyah: Bagi orang yang junub itu tidak diharamkan kecuali membaca Surat Al-Azaim yang empat walau hanya sebagiannya, yaitu: Iqra, Al Najm, Hamim Al Sajadah, dan Alif lam Mim Tanzil.
Kalau selain empat di atas boleh membacanya, hanya tetap dimakruhkan kalau sampai lebih dari tujuh ayat, dan bila sampai lebih dari tujuh puluh ayat, maka sudah termasuk makruh mu'akkad.
Imamiyah menambahkan bahwa pada waktu berpuasa pada bulan Ramadhan dan pada waktu menggantinya (mengqadha 'nya), tidak sah puasa orang yang berpuasa itu kalau masuk waktu pagi dalam keadaan junub, baik sengaja maupun tidak. Sedangkan kalau ia tidur siang atau malarn, lalu masuk waktu pagi dalam keadaan "mimpi" (junub), maka tidak menjadikan puasanya batal. Dalam masalah ini,
Imamiyah berbeda dengan mazhab-mazhab yang lain.
Hal-hal Yang Wajib Dalam Mandi Junub
Dalam mandi junub diwajibkan apa yang diwajibkan dalam wudhu, baik dari segi ke muthlak-an air sucinya serta badan harus suci terlebih dahulu, juga tidak ada sesuatu yang dapat mencegah sampainya ke kulit, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab wudhu. Diwajibkan juga berniat, Kecuali Hanafi yang menolak niat ini. Alasannya: Hanafi tidak menganggap niat itu sebagai syarat sahnya mandi.
Empat mazhab tidak mewajibkan dalam mandi junub itu dengan cara-cara khusus, hanya mereka mewajibkan untuk meratakan air ke seluruh badan. Mereka tidak menjelaskan apakah harus dari atas atau sebaliknya.
Hanafi: Menambahkan ia harus berkumur-kumur dan menghirup air ke dalam hidup lalu dihembuskan. Mereka (Hanafi): Sunnah bila pertama memulai dengan menyiram air dari kepala, tubuh sebelah kanan, kemudian tubuh sebelah kiri.
Syafi'i dan Maliki: Disunnah kan untuk memulai dari bagian atas badan sebelum pada bagian bawah, selain faraj (kemaluan). la (faraj) disunnahkan lebih dahulu dari semua anggota badan yang lain.
Hambali: Disunnahkan mendahulukan yang kanan dari yang kiri.
Imamiyah: Membagi mandi junub ke dalam dua bagian, yaitu:
Tertib dan Irtimas
Tertib ialah orang yang mandi harus menyiramkan air pada tubuhnya dengan satu siraman. Maka dalam hal ini, ia wajib memulai dari atas, kemudian pada bagian tubuh yang kanan, lalu pada yang kiri. Bila hal itu tidak terlaksana, atau mendahulukan yang terakhir atau mengakhirkan yang seharusnya didahulukan, maka mandinya batal.
Irtimas ialah menceburkan semua tubuhnya ke dalam air satu kali (menyelam). Maka kalau ada sebagian tubuh yang tidak tenggelam, itu tidak cukup (tidak sah)
Imamiyah mengatakan bahwa semua jenis mandi tidak memadai sebagai pengganti dari wudhu, kecuali mandi junub. Karena mandi junub sudah termasuk wudhu di dalamnya.
Empat mazhab: Tidak membedakan antara mandi junub dengan mandi-mandi lainnya, karena tidak cukupnya syarat-syarat yang ada dalam wudhu.
end
BAB 8
ISTIHADHAH
Istihadhah menurut istilah para ahli fiqih adalah: Darah yang keluar dari wanita bukan pada masa-masa haid dan nifas dan tidak ada kemungkinan bahwa ia haid; misalnya darah yang melebihi masa haid atau darah yang kurang dari masa paling sedikitnya haid. Biasanya darah itu warnanya kuning, dingin, encer (tidak kental) dan keluarnya dengan lemah (tidak deras) yang pada dasarnya berbeda dengan darah haid.
Imamiyah membagi darah istihadhah itu pada tiga bagian:
Sedikit : Bila darah itu sampai melumuri kapas tetapi tidak sampai membasahi semua kapas itu, maka hukumnya, ia harus berwudhu setiap mau shalat dengan mengganti kapas, hanya ia tidak boleh menjama' (mengumpulkan) dua shalat dengan satu wudhu.
Pertengahan : Kalau darah itu sampai membasahi semua kapas, tetapi tidak sampai mengalir, maka hukumnya ia harus mandi satu kali setiap hari sebelum pagi, juga harus mengganti kapas, dan harus berwudhu setiap mau shalat.
Banyak : Kalau darah itu sampai membasahi kapas semuanya dan sampai mengalir dari kapas itu, maka hukumnya ia harus mandi sebanyak tiga kali, yaitu mandi sebelum shalat Shubuh, kemudian mandi sebelum menjama' Shalat dua Dzuhur (Dzuhur dan Ashar) dan mandi sebelum menjama' Shalat dua Isya' (Maghrib dan Isya').
Kebanyakan ulama Imamiyah: la harus berwudhu dalam sedap kesempatan (ketika mau shalat) dengan mengganti kapas juga.
Mazhab-mazhab yang lain tidak menerima pembagian ini, sebagaimana mazhab-mazhab ini tidak mewajibkan mandi bagi orang yang sedang istihadhah. Ini dijelaskan dalam buku Fiqhus Sunnah, karya Sayyid Sabiq, halaman 155, cetakan tahun 1957 seperti berikut:
“Bagi orang (wanita) yang istihadhah tidak diwajibkan mandi untuk shalat apapun, dan juga pada waktu apapun kecuali hanya satu kali, yaitu pada waktu haidnya putus (selesai). Maksudnya bahwa mandi itu hanya untuk haid, bukan untuk isiihadhah. Begitu pendapat jumhur dari kalangan salaf dan khalaf.”
Empat mazhab: Istihadhah itu tidak mencegah (melarang) untuk melakukan sesuatu yang dilarang dalam haid, baik membaca Al-Qur'an, menyentuhnya, masuk masjid, ber i'tikaf, berthawaf, bersetubuh, dan lain-lainnya seperti yang dijelaskan dalam masalah-masalah yang dilarang bagi orang yang berhadas besar. (Al-Fuqhu 'ala Al-Madzahib Al-Arba'ah, jilid I, bab Mabhastu al Istihadhah).
Imamiyah: Istihadhah sedikit dihukumi sama dengan hadas kecil maka dari itu, ia tidak boleh melakukan sesuatu yang memerlukan wudhu kecuali setelah berwudhu. Sedangkan istihadhah pertengahan dan istihadahah banyak sama dengan hadas besar, maka dari itu keduanya dilarang melakukan sesuatu yang disyaratkan mandi. Keduanya sama seperti haid selama belum melaksanakan apa yang diwajibkan pada keduanya. Bila keduanya telah melaksanakan yang diwajibkan, maka keduanya (yang istihadhah pertengahan dan banyak) dianggap suci.
Keduanya dibolehkan untuk shalat, masuk masjid, thawaf dan bersetubuh. Dan mandi istihadhah adalah seperti mandi haid, tak ada bedanya, menurut Imamiyah.
Darah Nifas
Imamiyah dan Maliki: Darah nifas adalah darah yang dikeluarkan dari rahim yang disebabkan persalinan, baik ketika bersalin maupun sesudah bersalin, bukan sebelumnya. Hambali: Darah nifas, adalah darah yang keluar bersama keluarnya anak, baik sesudahnya maupun sebelumnya, dua atau tiga hari dengan tanda-tanda akan melahirkan.
Syafi'i: Darah yang keluar setelah melahirkan, bukan sebelumnya dan bukan pula bersamaan.
Hanafi: Darah yang keluar setelah melahirkan, atau yang keluar ketika sebagian besar tubuh anaknya sudah keluar. Sedangkan kalau darah itu sebelum melahirkan, atau darah yang keluar ketika tubuh anaknya baru sebagian kecil yang keluar, maka ia tidak dinamakan darah nifas.
Kalau wanita hamil itu melahirkan tetapi tidak nampak ada darah yang keluar, ia tetapi diwajibkan mandi, menurut Syafi'i, Hanafi dan Maliki. Tetapi menurut Imamiyah dan Hambali tidak wajib mandi.
Semua ulama mazhab sepakat bahwa darah nifas itu tidak mempunyai batas paling sedikitnya. Sedangkan paling banyak, yang terkenal menurut Imamiyah adalah sepuluh hari.
Hambali dan Hanafi: Empat puluh hari, sedangkan Syafi'i dan Maliki: Enam puluh hari.
Kalau anak yang lahir itu keluar dari tempat yang bukan biasanya karena disebabkan pembedahan, maka wanita itu tidak bernifas, tetapi kalau masalah 'iddha talak tetap berlaku setelah keluarnya anak itu, menurut kesepakatan semua ulama mazhab.
Hukum nifas adalah sama seperti hukum haid, baik dari segi tidak sahnya shalat, puasa, dan wajib meng-qadha' kalau ia meninggalkan puasa, tetapi tidak wajib qadha' untuk shalat yang ditinggalkan. Sama seperti haid, juga diharamkan disetubuhi dan menyetubuhi, menyentuh Al-Qur'an, berdiam di dalam masjid atau memasukinya, tetapi dalam masalah terakhir ini ada perbedaan antara mazhab, juga tidak sah kalau ditalak menurut Imamiyah serta hukum-hukum lainnya. Adapun cara-cara mandi dan syarat-syaratnya, sama persis seperti haid.
end
BAB 8
ISTIHADHAH
Istihadhah menurut istilah para ahli fiqih adalah: Darah yang keluar dari wanita bukan pada masa-masa haid dan nifas dan tidak ada kemungkinan bahwa ia haid; misalnya darah yang melebihi masa haid atau darah yang kurang dari masa paling sedikitnya haid. Biasanya darah itu warnanya kuning, dingin, encer (tidak kental) dan keluarnya dengan lemah (tidak deras) yang pada dasarnya berbeda dengan darah haid.
Imamiyah membagi darah istihadhah itu pada tiga bagian:
Sedikit : Bila darah itu sampai melumuri kapas tetapi tidak sampai membasahi semua kapas itu, maka hukumnya, ia harus berwudhu setiap mau shalat dengan mengganti kapas, hanya ia tidak boleh menjama' (mengumpulkan) dua shalat dengan satu wudhu.
Pertengahan : Kalau darah itu sampai membasahi semua kapas, tetapi tidak sampai mengalir, maka hukumnya ia harus mandi satu kali setiap hari sebelum pagi, juga harus mengganti kapas, dan harus berwudhu setiap mau shalat.
Banyak : Kalau darah itu sampai membasahi kapas semuanya dan sampai mengalir dari kapas itu, maka hukumnya ia harus mandi sebanyak tiga kali, yaitu mandi sebelum shalat Shubuh, kemudian mandi sebelum menjama' Shalat dua Dzuhur (Dzuhur dan Ashar) dan mandi sebelum menjama' Shalat dua Isya' (Maghrib dan Isya').
Kebanyakan ulama Imamiyah: la harus berwudhu dalam sedap kesempatan (ketika mau shalat) dengan mengganti kapas juga.
Mazhab-mazhab yang lain tidak menerima pembagian ini, sebagaimana mazhab-mazhab ini tidak mewajibkan mandi bagi orang yang sedang istihadhah. Ini dijelaskan dalam buku Fiqhus Sunnah, karya Sayyid Sabiq, halaman 155, cetakan tahun 1957 seperti berikut:
“Bagi orang (wanita) yang istihadhah tidak diwajibkan mandi untuk shalat apapun, dan juga pada waktu apapun kecuali hanya satu kali, yaitu pada waktu haidnya putus (selesai). Maksudnya bahwa mandi itu hanya untuk haid, bukan untuk isiihadhah. Begitu pendapat jumhur dari kalangan salaf dan khalaf.”
Empat mazhab: Istihadhah itu tidak mencegah (melarang) untuk melakukan sesuatu yang dilarang dalam haid, baik membaca Al-Qur'an, menyentuhnya, masuk masjid, ber i'tikaf, berthawaf, bersetubuh, dan lain-lainnya seperti yang dijelaskan dalam masalah-masalah yang dilarang bagi orang yang berhadas besar. (Al-Fuqhu 'ala Al-Madzahib Al-Arba'ah, jilid I, bab Mabhastu al Istihadhah).
Imamiyah: Istihadhah sedikit dihukumi sama dengan hadas kecil maka dari itu, ia tidak boleh melakukan sesuatu yang memerlukan wudhu kecuali setelah berwudhu. Sedangkan istihadhah pertengahan dan istihadahah banyak sama dengan hadas besar, maka dari itu keduanya dilarang melakukan sesuatu yang disyaratkan mandi. Keduanya sama seperti haid selama belum melaksanakan apa yang diwajibkan pada keduanya. Bila keduanya telah melaksanakan yang diwajibkan, maka keduanya (yang istihadhah pertengahan dan banyak) dianggap suci.
Keduanya dibolehkan untuk shalat, masuk masjid, thawaf dan bersetubuh. Dan mandi istihadhah adalah seperti mandi haid, tak ada bedanya, menurut Imamiyah.
Darah Nifas
Imamiyah dan Maliki: Darah nifas adalah darah yang dikeluarkan dari rahim yang disebabkan persalinan, baik ketika bersalin maupun sesudah bersalin, bukan sebelumnya. Hambali: Darah nifas, adalah darah yang keluar bersama keluarnya anak, baik sesudahnya maupun sebelumnya, dua atau tiga hari dengan tanda-tanda akan melahirkan.
Syafi'i: Darah yang keluar setelah melahirkan, bukan sebelumnya dan bukan pula bersamaan.
Hanafi: Darah yang keluar setelah melahirkan, atau yang keluar ketika sebagian besar tubuh anaknya sudah keluar. Sedangkan kalau darah itu sebelum melahirkan, atau darah yang keluar ketika tubuh anaknya baru sebagian kecil yang keluar, maka ia tidak dinamakan darah nifas.
Kalau wanita hamil itu melahirkan tetapi tidak nampak ada darah yang keluar, ia tetapi diwajibkan mandi, menurut Syafi'i, Hanafi dan Maliki. Tetapi menurut Imamiyah dan Hambali tidak wajib mandi.
Semua ulama mazhab sepakat bahwa darah nifas itu tidak mempunyai batas paling sedikitnya. Sedangkan paling banyak, yang terkenal menurut Imamiyah adalah sepuluh hari.
Hambali dan Hanafi: Empat puluh hari, sedangkan Syafi'i dan Maliki: Enam puluh hari.
Kalau anak yang lahir itu keluar dari tempat yang bukan biasanya karena disebabkan pembedahan, maka wanita itu tidak bernifas, tetapi kalau masalah 'iddha talak tetap berlaku setelah keluarnya anak itu, menurut kesepakatan semua ulama mazhab.
Hukum nifas adalah sama seperti hukum haid, baik dari segi tidak sahnya shalat, puasa, dan wajib meng-qadha' kalau ia meninggalkan puasa, tetapi tidak wajib qadha' untuk shalat yang ditinggalkan. Sama seperti haid, juga diharamkan disetubuhi dan menyetubuhi, menyentuh Al-Qur'an, berdiam di dalam masjid atau memasukinya, tetapi dalam masalah terakhir ini ada perbedaan antara mazhab, juga tidak sah kalau ditalak menurut Imamiyah serta hukum-hukum lainnya. Adapun cara-cara mandi dan syarat-syaratnya, sama persis seperti haid.
end
BAB 11
MAZHAB-MAZHAB DAN AYAT TAYAMMUM
Kami telah menjelaskan tentang air, hal-hal yang dapat membatalkan wudhu, dan tentang tayammum, bahwa beberapa mazhab dalam Islam sebagian besar berbeda pendapat tentang pengertian kata-kata yang dipergunakan dalam ayat tayammum, seperti:
“Dan jika kamu sakit atau berada dalam perjalanan, atau kembali dari tempat buang air besar (jamban), atau menyentuh (menyetubuhi) perempuan, lalu kamu tidak mendapatkan air, maka tayammumlah dengan tanah yang baik. Maka usaplah muka-muka kamu. (Q.S. Al Maidah, 6).
Ulama fiqih berbeda pendapat tentang siapakah yang diwajibkan bertayammum kalau tidak ada air; Apakah hanya orang yang sakit dan orang musafir saja, atau sifatnya umum di mana orang mukim yang sehat juga termasuk di dalamnya? Apakah yang dimaksudkan dengan menyentuh itu adalah bersetubuh atau hanya menyentuh dengan tangan saja? Apakah yang dimaksud air hanya air muthlaq saja atau air apa saja? Apakah yang dimaksud dengan Al-Sha'id khusus debu saja, atau termasuk juga semua yang ada dipermukaan bumi, baik debu, pasir atau batu? Apakah yang dimaksud dengan muka adalah semuanya atau hanya sebagiannya saja? Apakah yang dimaksud dengan tangan itu adalah telapak tangan saja atau telapak tangan dan lengan? Di bawah ini kami ringkaskan sebagian pendapat-pendapat di atas:
1. Imam Abu Hanifah berkata: Orang yang mukim yang sehat, yang tidak mendapatkan air tidak dibolehkan bertayammum, dan juga tidak diwajibkan shalat, karena ayat tersebut hanya mewajibkan bertayammum karena tidak ada air kepada orang yang sakit dan orang musafir secara khusus.
Mazhab-mazhab yang lain: Sesungguhnya menyentuh wanita lain (yang bukan muhrim) dengan sentuhan tangan yang sempurna, maka hukumnya sama seperti orang buang air, yaitu dapat membatalkan wudhu.
Imamiyah: Bersetubuh itulah yang membatalkan wudhu, bukan menyentuh dengan tangan.
2. Hanafi: Sesungguhnya pengertian "Kalau kamu tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah" adalah air mutlaq, atau air mudhaf. Sedangkan menurut mazhab-mazhab yang lain: Kata ma'u (air) dalam ayat tersebut hanya khusus pada air mutlaq saja bukan air mudhaf.
3. Hanafi dan sebagian kelompok Imamiyah: Yang dimaksud dari Al-Sha'id (tanah) dalam ayat tersebut adalah debu, pasir dan batu kecil.
Syafi’i: Yang dimaksudkannya adalah hanya debu dan pasir saja.
Hambali: Hanya debu saja.
Maliki: Mengandung pengertian yang bersifat umum, baik debu, pasir, batu kecil, es, maupun barang tambang.
Empat mazhab: Yang dimaksud dengan muka adalah semuanya.
Imamiyah: Hanya sebagiannya saja.
4. Empat mazhab: Yang dimaksud dengan dua tangan adalah dua telapak tangan dan pergelangan sampai dua siku-siku.
Imamiyah: Hanya dua telapak tangan saja.
Sebenarnya perbedaan pendapat di atas hanya menunjukkan pada hal-hal yang bersifat interpretasi bukan pada yang substansial, pada lafadz-nya. saja bukan pada pengertiannya. Perbedaan itu muncul karena adanya perbedaan dalam memahami suatu kata, dan hanya terjadi pada kalangan ahli bahasa, dan para sastrawan yang berbeda penafsiran (interpretasi) terhadap satu bait syair. Dari sini para ahli fiqih dari satu mazhab berbeda pendapat tentang satu masalah, sebagaimana adanya perbedaan pendapat antara satu mazhab dengan mazhab yang lain
BAB 12
SHALAT
Shalat itu dibagi pada yang wajib dan yang sunnah. Shalat yang paling penting adalah shalat lima waktu yang wajib dilakukan setiap hari. Semua orang Islam sepakat bahwa orang yang menentang kewajiban ini atau meragukannya, ia bukan termasuk orang Islam, sekalipun ia mengucapkan Syahadat, karena shalat termasuk salah satu rukun Islam. Kewajiban menegakkan shalat berdasarkan ketetapan agama, dan tidak mempunyai tempat untuk dianalisa serta ijtihad dalam masalah ini, dan tidak pula taqlid.
Para ulama mazhab berbeda pendapat tentang hukum orang yang meninggalkan shalat karena malas dan meremehkan, dan ia meyakini bahwa shalat itu wajib.
Syafi'i, Maliki dan Hambali: Harus dibunuh.
Hanafi: la harus ditahan selama-lamanya, atau sampai ia shalat.
Imamiyah: Setiap orang yang meninggalkan yang wajib, seperti shalat, zakat, membayar khumus, haji, dan puasa, maka bagi hakim (pemerintah) yang melihatnya harus mendidiknya kalau ia patuh (mau mengikutinya). Bila tidak, harus mendidiknya lagi. Bila tidak lagi, sang hakim (pemerintah) harus mendidiknya lagi, dan bila pada keempat kalinya tetap tidak mau mengikuti, maka ia harus dibunuh. (Kasyful Ghita', Karya Al-Syekh Al-Kabir, halaman 79, cetakan tahun 1317 H).
Shalat-shalat Sunnah Rawatib
Shalat yang disunnahkan banyak macamnya di antaranya adalah shalat-shalat rawatib sehari-hari. Ulama mazhab, berbeda pendapat tentang jumlah banyak rakaatnya
Syafi'i: Sebelas rakaat, yaitu dua rakaat sebelum Shubuh, dua rakaat sebelum Dzuhur dan dua rakaat sesudahnya. Dua rakaat setelah Maghrib dan dua rakaat setelah shalat Isya' serta satu rakaat shalat witir.
Hambali: Sepuluh rakaat, yaitu: Dua rakaat sebelum dan sesudah Dzuhur, dua rakaat setelah Maghrib, dua rakaat setelah Isya' dan dua rakaat sebelum shalat Shubuh.
Maliki: Untuk shalat-shalat sunnah rawatib tidak ada batas tertentu dan tidak ada pula jumlah khusus, hanya yang paling utama adalah: Empat rakaat sebelum Dzuhur dan enam rakaat setelah Maghrib.
Hanafi: Shalat rawatib itu dibagi kepada sunnah masnunah (disunnahkan) dan mandubah (disunnahkan) .12
12 Hanafi mempunyai istilah-istilah tentang apa yang wajib dikerjakannya dan yang tidak boleh ditinggalkannya, yang mana dibagi dua, yaitu: Fardhu apabila perbuatan itu ditetapkan berdasarkan dalil qath'i (pasti), seperti Al-Qur'an, hadis yang mutawatir, dan ijma'. Kedua, wajib apabila ditetapkan berdasarkan dalil dzanni (perkiraan), seperti qiyas dan hadis yang diriwayatkan oleh satu orang. Sedangkan perbuatan yang lebih baik (kuat) untuk dikerjakannya dari pada ditinggalkan di bagi ke dalam dua bagian juga, yaitu nasnun: Perbuatan yang biasa dilakukan Nabi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa 'Alihi wa Sallam, khulafaur Rasyidun. yang kedua mandub, yaitu perbuatan yang diperintahkan oleh Nabi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa 'Alihi wa Sallam tetapi tidak biasa dilakukan oleh beliau sendiri. Juga perbuatan yang wajib ditinggalkannya dan tidak boleh dilakukannya, kalau ia ditetapkan berdasarkan dalil qath'i (pasti), maka perbuatan yang dilarang itu adalah haram. Bila perbuatan ditetapkan berdasarkan dalil dzanni (perkiraan), maka larangan tersebut adalah makruh yang mendekati haram.
Shalat masnunah ada lima shalat, yaitu: Dua rakaat sebelum Subuh, empat rakaat sebelum Dzuhur dan dua rakaat setelahnya selain hari jum'at, dua rakaat setelah Maghrib dan empat rakaat setelan Isya'.
Sedangkan shalat-shalat yang mandubah ada empat shalat, yaitu:
Empat rakaat sebelum Ashar, dan kalau mau dua rakaat saja, enam rakaat setelah Maghrib, empat rakaat sebelum Isya' dan empat rakaat setelah Isya'.
Sedangkan shalat-shalat yang mandubah ada empat shalat, yaitu:
Empat rakaat sebelum Ashar, dan kalau mau dua rakaat saja, enam rakaat setelah Magrib, empat rakaat sebelum Isya' dan empat rakaat setelahnya.
Imamiyah: Shalat rawatib itu setiap hari ada tiga puluh empat rakaat, yaitu: Delapan rakaat sebelum Dzuhur, delapan rakaat sebelum Ashar, empat rakaat sesudah Magrib dan dua rakaat sesudah Isya', tetapi dua rakaat yang terakhir ini (dua rakaat sesudah Isya') dilakukan sambil duduk, dan ia dihitung satu rakaat serta dinamakan shalat witir, dan delapan rakaat shalat malam, dua rakaat untuk me-minta syafa'at, satu rakaat untuk witir,13 dan dua rakaat untuk shalat Shubuh, yang dinamakan shalat fajar.
13 Shalat witir menurut Hanafi ada tiga rakaat dengan satu salam. Waktunya berlaku mulai tengelamnya syafaq ahmar (awan merah) sampai terbitnya fajar.
Hambali dan Syafi'i berkata bahwa paling sedikitnya shalat witir adalah satu raka'at dan paling banyak sebelas rakaat, serta waktunya sesudah shalat Isya'.
Hambali: Shalat witir itu yang berlaku (yang banyak dilakukan para sahabat) adalah satu rakaat saja.
Waktu Dua Dzuhur (Dzuhur dan Ashar)
Para ahli fiqih memulai dengan shalat Dzuhur, karena ia merupakan shalat pertama yang diperintahkan (difardhukan) kemudian setelah itu difardhukan shalat Ashar, kemudian Maghrib, lalu Isya', kemudian shalat Shubuh secara tertib. Kelima shalat tersebut diwajibkannya di Mekkah pada malam Isra' setelah sembilan tahun dari diutusnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa 'Alihi wa Sallam, berdasarkan firman Allah:
"Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam, dan Shubuh. Sesungguhnya shalat Shubuh disaksikan (oleh malaikat)." (Q.S. Al-Isra' 78).
Para ulama mazhab sepakat bahwa shalat itu tidak boleh didirikan sebelum masuk waktunya, dan juga sepakat bahwa apabila matahari telah tergelincir berarti waktu Dzuhur telah masuk, hanya mereka berbeda pendapat tentang batas ketentuan waktu ini dan. sampai kapan waktu shalat itu berakhir.
Imamiyah: Waktu Dzuhur itu hanya khusus dari setelah tergelincirnya matahari sampai diperkirakan dapat melaksanakannya, dan waktu Ashar juga khusus dari akhir waktu siang sampai diperkirakan dapat melaksanakannya. Dan antara yang pertama dan yang terakhir itu ada waktu musytarak14 (menghubungkan) antara dua shalat (Dzuhur dan Ashar). Dengan dasar inilah Imamiyah membolehkan mela-kukan jama' (mengumpulkan) antara Dzuhur dan Ashar, yaitu pada waktu musytarak (penggabungan). Apabila waktunya sempit dan sisa waktunya hanya cukup untuk mendirikan shalat Dzuhur saja, maka boleh mendahulukan shalat Ashar dan shalat Dzuhur, kemudian shalat Dzuhur pada waktu terakhir dengan qadha'.
14 Di antara para ulama mazhab ada yang setuju dengan Imamiyah yang menyatakan boleh melakukan jama' bagi orang yang mukim (bukan musafir) Syaikh Ahmad Shadiq Al-Ghimari telah mengarang suatu buku yang menjelaskan hal tersebut, yang buku itu dinamakan: Izalatul Khathar 'Amman Jama'a Baina Al-Shalataini fi al-hadhar.
Empat mazhab: Waktu Dzuhur dimulai dari tergelincirnya matahari sampai bayang-bayang sesuatu sama panjangnya dengan sesuatu itu. Apabila lebih, walau hanya sedikit, berarti waktu Dzuhur telah habis.
Tetapi Syafi'i dan Maliki: Batasan ini hanya berlaku khusus bagi orang yang memilihnya, sedangkan bagi orang yang terpaksa, maka waktu Dzuhur itu sampai bayang-bayang sesuatu (benda) lebih panjang dari benda tersebut.
Imamiyah: Ukuran panjangnya bayang-bayang sesuatu sampai sama dengan panjang benda tersebut merupakan waktu Dzuhur yang paling utama. Dan kalau ukuran bayang-bayang suatu benda lebih panjang dua kali dari benda tersebut merupakan waktu Ashar yang utama.
Hanafi dan Syafi'i: Waktu Ashar dimulai dari lebihnya bayang-bayang sesuatu (dalam ukuran panjang) dengan benda tersebut sampai terbenamnya matahari.
Maliki: Ashar mempunyai dua waktu. Yang pertama disebut waktu ikhtiari, yaitu dimulai dari lebihnya bayang-bayang suatu benda dari benda tersebut, sampai matahari tampak menguning. Sedangkan yang kedua disebut waktu idhthirari, yaitu dimulai dari matahari yang tampak menguning sampai terbenamnya matahari.
Hambali: Yang termasuk paling akhirnya waktu shalat Ashar adalah sampai bayang-bayang sesuatu benda lebih panjang dua kali dari benda tersebut, dan pada saat itu boleh mendirikan shalat Ashar sampai terbenamnya matahari, tetapi orang yang shalat pada saat itu berdosa, dan diharamkan sampai mengakhirkannya pada waktu tersebut. Mazhab-mazhab yang lain tidak sependapat dengan pendapat di atas.
Waktu Dua Isya'
Syafi'i dan Hambali (berdasarkan pendapat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hambali): Waktu Magrib dimulai dari hilangnya sinar matahari dan berakhir sampai hilangnya cahaya merah di arah Barat.
Maliki: Sesungguhnya waktu Maghrib itu sempit. Waktunya khusus dari awal tenggelamnya matahari sampai diperkirakan dapat melaksanakan shalat Maghrib itu, yang mana termasuk di dalamnya cukup untuk bersuci dan adzan serta tidak boleh mengakhirkannya (mengundurkan) dari waktu ini dengan sesuka hati (sengaja). Se-dangkan bagi orang yang terpaksa, maka waktu Magrib berlaku sampai terbitnya fajar, hanya tidak boleh mengakhirkan waktu Maghrib dari awal waktunya. Ini hanya pendapat Maliki saja.
Imamiyah: waktu shalat Maghrib hanya khusus dari awal waktu terbenamnya matahari15 sampai diperkirakan dapat melaksanakannya, sedangkan waktu Isya' hanya khusus dari akhir separuh malam pada bagian pertama (kalau malam itu dibagi dua) sampai diperkirakan dapat melaksanakannya. Di antara dua waktu tersebut adalah waktu musytarak (penggabungan) antara shalat Maghrib dan Isya'. Dari itu, mereka (Imamiyah) membolehkan melaksanakan shalat jama', pada waktu musytarak ini.
15 Terbenamnya matahari terjadi bila tidak ada sinar matahari yang membias ke atas, sama dengan pendapat empat mazhab. Hanya Imamiyah berpendapat bahwa terbenamnya matahari itu tidak bisa diketahui dengan tidak terlihatnya bulatan matahari dari pandangan mata, bahkan dengan naiknya cahaya merah di arah Timur dengan perkiraan tingginya sama dengan orang lelaki berdiri, karena Timur lebih tinggi dari Barat, di atasnya terdapat cahaya merah yang menentang (berlawanan) dengan cahaya matahari. Ini terjadi setiap matahari di arah Barat tenggelam, dan cahaya yang berlawanan itu naik ke atas. Sedangkan isu yang kami dengar bahwa Syi'ah tidak berbuka puasa Ramadhan sehingga sampai terbitnya bintang-bintang, adalah tidak mempunyai sumber dasar yang dapat dipertanggung jawabkan. Bahkan orang-orang Syi'ah telah menentang isu ini sebagaimana yang ditulis mereka dalam beberapa buku fiqih mereka. Mereka menolak orang yang menyangka bahwa bintang itu kadang-kadang terbit sebelum terbenamnya matahari, bersamaan dengannya atau sesudahnya. Orang yang mengakhirkan (mengundurkan) shalat Maghribnya sampai bintang-bintang bertaburan, maka ia dilaknat tujuh keturunan. Imamiyah (Syi'ah) berpendapat seperti ini sebagai penolak (sikap menolak terhadap isu yang dikembangkan oleh pengikut Abul Khattab yang berpendapat seperti diatas. Mereka sebenarnya (yang menuduh syi’ah seperti itu) adalah golongan yang merusak dan jahat. Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam. Dikatakan pada Imam Shadiq: “Sesungguhnya penduduk Iraq selalu mengakhirkan shalat Maghrib sampai bintang-bintang bertaburan.” Maka Imam Shadiq menjawab:”Ini merupakan perbuatan yang selalu dilakukan musuh Allah, yaitu Abul Khattab.”
Keterangan di atas kalau dihubungkan dengan orang yang memilih. Tapi kalau bagi orang yang terpaksa baik karena tidur atau lupa, maka waktu dua shalat tersebut sampai pada terbitnya fajar, hanya waktu shalat Isya' khusus dari akhir waktu malam sampai diperkirakan dapat (cukup) untuk melaksanakannya saja dan waktu shalat Maghrib khusus dari bagian pertama dari separuh (setengah) malam bagian kedua sampai diperkirakan dapat (cukup) untuk melaksanakannya saja.
Waktu Shubuh
Waktu. Shubuh yaitu terbitnya fajar shadiq sampai terbitnya matahari, menurut kesepakatan semua ulama mazhab kecuali Maliki.
Maliki: Waktu Shubuh ada dua: Pertama adalah ikhtar (memilih). yaitu dari terbitnya fajar sampai terlihatnya wajah orang yang kita pandang; sedangkan kedua adalah idhthirari (terpaksa), yaitu dari terlihatnya wajah tersebut sampai terbitnya matahari.
BAB 13
KIBLAT
Semua ulama mazhab sepakat bahwa Ka'bah itu adalah Kiblat bagi orang yang dekat dan dapat melihatnya. Tetapi mereka berbeda pendapat tentang Kiblat bagi orang yang jauh dan tidak dapat melihatnya.
Hanafi, Hambali, Maliki dan sebagian kelompok dari Imamiyah:
Kiblatnya orang yang jauh adalah arah di mana letaknya Ka'bah berada, bukan Ka'bah itu sendiri.
Syafi'i dan sebagian kelompok dari Imamiyah: Wajib menghadap Ka'bah itu sendiri, baik bagi orang yang dekat maupun bagi orang yang jauh. Kalau dapat mengetahui arah Ka'bah itu sendiri secara pasti (tepat), maka ia harus menghadapinya ke arah tersebut. Tapi bila tidak, maka cukup dengan perkiraan saja. Yang jelas bahwa orang yang jauh pasti tidak dapat membuktikan kebenaran pendapat ini dengan tepat, karena ia merupakan perintah yang mustahil untuk dilakukannya selama bentuk bumi ini bulat. Maka dari itu, Kiblat bagi orang yang jauh harus menghadap ke arahnya, bukan kepada Ka'bah itu sendiri.
Orang Yang Tidak Mengetahui Kiblat
Orang yang tidak mengetahui Kiblat, maka ia wajib menyelidiki, berusaha dan berijtihad sampai ia mengetahuinya atau memperkirakan bahwa Kiblat ada di satu arah tertentu. Tapi bila tetap tidak bisa mengetahuinya dan juga tidak dapat memeperkirakan, maka menurut
Empat mazhab dan sekelompok dari Imamiyah: la shalat ke mana saja yang disukainya dan sah shalatnya.
Dan tidak wajib mengulanginya lagi, menurut Syafi'i.
Sebagian besar Imamiyah: la harus shalat ke empat arah sebagai rasa patuh dalam melaksanakan perintah shalat, sebab salah satunya pasti ada yang tepat. Tapi bila waktunya sudah sempit untuk mengulang-ulang sampai empat kali, atau tidak mampu untuk mendirikan shalat ke empat arah, maka cukup shalat pada sebagian arah yang ia mampu saja.16
16 Perintah tersebut didasarkan pada Surat Al-Baqarah ayat 144 yang menje-laskan untuk menghadap ke Masjidil Haram, seperti:"...... Hadapkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram ..." Sedangkan pada surat yang sama ayat 115 diperintahkan untuk menghadap ke mana saja yang kita sukai, seperti: "Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat, maka kemampuan kamu menghadap, disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Mengetahui. "Ada sesuatu kaum yang berpendapat: Ayat yang pertama menasakhkan (menghapus) yang kedua. Yang lain berpendapat:
Tidak, tidak ada yang me-nasakh dan tidak ada yang di-nasakh, tidak ada umum dan tidak ada pula khusus. Maka cara untuk mengumpulkan dua ayat tersebut adalah bahwa ayat pertama itu khusus bagi orang yang dapat mengetahui Kiblat. Dari itu, ia harus menghadap ke arah Kiblat. Sedangkan ayat kedua khusus bagi orang yang bingung yang tidak mengetahui Kiblat, maka hukumnya ia boleh shalat ke arah mana saja yang disukainya. Ini merupakan pendapat yang paling mendekati pada kebenaran.
Kalau ia shalat tidak mengarah Kiblat, kemudian ia dapat mengetahui bahwa hal itu salah, maka menurut:
Imamiyah: Kalau kesalahannya itu diketahui ketika sedang shalat, dan ia miring (tidak mengarah) ke Kiblat ke kanan atau ke kiri, maka ia harus melanjutkan shalatnya yang telah dilakukan, tetapi sisanya harus diluruskan ke arah Kiblat. Kalau ia tahu bahwa ia shalat ke arah Timur, Barat, Utara atau justru membelakangi Kiblat, maka batallah shalatnya dan ia harus mengulanginya lagi dari pertama. Bila ia mengetahui setelah selesai shalat, maka ia harus mengulangi lagi pada waktu itu, bukan di luar waktu itu.
Sebagian Imamiyah: Tidak usaha mengulangi lagi pada waktu tersebut dan tidak pula di luarnya kalau ia meleset sedikit dari arah Kiblat. Tapi kalau ia telah shalat pada arah Barat atau ke Timur, maka ia harus mengulanginya lagi pada (di dalam) waktu tersebut, bukan di luarnya. (Arah tersebut berlaku di tempat pengarang buku ini; tapi kalau di Indonesia, mungkin kalau menghadap ke Utara atau Selatan-Pent). Dan bila nampak jelas bahwa ia membelakangi Kiblat, maka ia harus mengulanginya lagi pada (di dalam) waktu tersebut maupun di luarnya.
Hanafi dan Hambali: Kalau ia berusaha dan berijtihad untuk mencari arah Kiblat, tetapi tidak ada satu arah pun dari beberapa arah yang lebih kuat untuk dijadikan patokan arah Kiblat, maka ia boleh shalat menghadap kemana saja, bila kemudian mengetahui bahwa ia salah, maka kalau ia masih di pertengahan, ia harus berubah ke arah yang diyakininya atau arah yang paling kuat. Tapi bila mengetahui bahwa ia salah setelah selesai shalat, maka sah shalatnya dan tidak diwajibkan mengulangi shalatnya.
Syafi'i: Kalau ia tahu bahwa ia salah dengan cara yang meyakinkan, maka ia wajib mengulanginya lagi. Tapi bila hanya mengetahui dengan cara perkiraan saja, maka sah shalatnya, tidak ada bedanya, baik ketika sedang shalat maupun sesudahnya.
Sedangkan bagi orang yang tidak mau berusaha dan tidak mau berijtihad, kemudian nampak bahwa ia telah shalat ke arah Kiblat dan benar, maka shalatnya batal, menurut Maliki dan Hambali.
Hanafi dan Imamiyah: Sah shalatnya kalau ia shalat tanpa ada keraguan dan ketika memulai shalat ia yakin bahwa ia menghadap ke arah Kiblat, karena pada keadaan seperti itu ia telah melakukan sesuatu (perbuatan) yang diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka sahlah niatnya, begitulah pendapat Imamiyah.
end
BAB 14
ANGGOTA BADAN YANG WAJIB DITUTUPI DAN HARAM DILIHAT
Ini merupakan salah satu topik yang melahirkan beberapa hukum yang bermacarn-macam. Di antaranya adalah batas anggota badan orang yang mukallaf yang wajib ditutupi, batas anggota badan lainnya yang haram dilihat juga perbedaan antara orang muhrim karena nasab (hubungan darah) atau hubungan famili (keluarga dekat) dan orang yang bukan muhrim, perbedaan antara melihat yang sejenis atau yang berlawanan jenis, perbedaan antara melihat dan menyentuh, dan lain sebagainya seperti yang dijelaskan di bawah ini:
Melihat Dirinya Sendiri
Ulama mazhab berbeda pendapat tentang tutup aurat manusia untuk dirinya sendiri, yaitu:
Apakah ia haramkan untuk membuka auratnya ketika sendirian dan aman dari penglihatan orang lain?
Hanafi dan Hambali: Orang yang sudah mukhallaf tidak boleh membuka auratnya di samping orang yang tidak dihalalkan untuk melihatnya, begitu juga kalau sendiri, kecuali karena darurat, baik karena untuk membuang air besar atau kecil atau karena mau mandi.
Maliki dan Syafi’i: Tidak haram, hanya tetap makruh kecuali kalau darurat.
Imamiyah: Tidak diharamkan dan tidak makruh, jika tidak ada yang melihat.
Pendapat Ibnu Abi Laila ini merupakan pendapat yang aneh yang menyatakan bahwa manusia dilarang mandi dengan telanjang, karena dalam air itu ada penghuninya (Al-Majmu 'Syarhul Muhadzdzab, Jilid 2, halaman 197).
Wanita dan Muhrim
Ulama mazhab berbeda pendapat tentang bagian anggota badan wanita yang wajib ditutupi dari pandangan muhrimnya. yang lelaki selain suaminya dan dari yang sejenis (wanita) yang muslimah. Dengan perkataan lain, apa batas aurat wanita di hadapan yang sejenis, dan di hadapan muhrimnya, baik karena ada hubungan darah maupun karena famili dekat?17
17 Dalam ayat 31, Surat Al-Nur dijelaskan tentang orang yang dibolehkan bagi wanita untuk menampakkan perhiasannya di hadapan mereka. Dalam ayat tersebut dijelaskan "istri-istri mukmin". Ayat tersebut telah melarang wanita muslimah untuk menampakkan auratnya di hadapan wanita non muslimah, Syafi'i, Maliki dan Hanafi menyatakan bahwa larangan itu menunjukkan haram. Tetapi sebagian besar Imamiyah dan Hambali: Tidak ada beda antara wanita muslimah dengan wanita non muslimah, sebagaimana juga dimakruhkan untuk membuka auratnya di hadapan wanita non muslimah, menurut Imamiyah, karena hal itu akan diceritakan pada suaminya.
Hanafi dan Syafi'i: Dalam keadaan seperti itu hanya diwajibkan menutupi antara pusar dan lutut.
Maliki dan Hambali: Bila di hadapan yang sejenis wajib menutupi antara pusar dan lutut, sedangkan kalau di hadapan muhrimnya yang lelaki adalah semua badannya kecuali bagian yang ujung-ujungnya, seperti kepala dan dua tangan.
Sebagian besar Imamiyah: Bila di hadapan wanita (yang sejenis) dan di hadapkan muhrimnya. yang lelaki yang menutupi dua kemaluannya, tapi bila menutupi selain keduanya adalah lebih utama, kecuali kalau takut timbul fitnah.
Wanita dan Lelaki Lain (Yang Bukan Muhrim)
Tentang bagian anggota badan wanita yang wajib ditutupi di hadapan lelaki lain. Ulama mazhab sepakat bahwa semua badannya adalah aurat, selain muka dan dua telapak tanganya, berdasarkan firman Allah dalam Surat Al-Nur, ayat 31:
"Dan janganlah mereka (para wanita) menampakkan perhiasan kecuali yang biasa nampak, dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudungnya ke dadanya .... "
Yang dimaksud dengan perhiasan yang nampak itu adalah muka dan dua telapak tangan. Sedangkan yang dimaksud dengan khimar adalah tutup kepala, bukan penutup muka; dan yang dimaksud dengan jaib adalah dada. Para wanita itu telah diperintahkan untuk meletakkan kain penutup di atas kepalanya dan melebarkannya sampai menutupi dadanya. Kalau yang dimaksud dalam Surat Al-Ahzab, ayat 1, seperti:
"Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, putri-putrimu, dan istri-istri orang-orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka"
Maka yang dimaksud itu adalah bukan penutup wajah, tetapi ia hanya baju dan kain.
Aurat Lelaki
Ulama mazhab berbeda pendapat tentang batas aurat lelaki, bagi yang melihat maupun yang dilihat. Maksudnya bagian badannya yang wajib ditutupi, dan yang wajib ditutupi untuk tidak dilihat matanya sendiri.
Hanafi dan Hambali: Bagi orang lelaki wajib menutupi antara pusar dan lutut selain di hadapan istrinya dan anggota badan yang lain boleh dilihat, baik sesama jenis maupun yang tidak sejenis (lelaki dan wanita), baik muhrim maupun yang bukan muhrim, supaya aman dari timbulnya fitnah.
Maliki dan Syafi'i: Aurat lelaki ada dua. Pertama kalau di hadapan lelaki dan muhrimnya. yang wanita. Kedua di hadapan wanita-wanita lain (bukan muhrimnya). Keadaan yang pertama, ia hanya wajib menutupi antara pusar dan lutut saja. Sedangkan pada keadaan yang kedua, maka semua badan lelaki itu adalah aurat, dan haram dilihat oleh wanita lain (bukan muhrim), hanya Maliki yang mengecualikan, yaitu ujung-ujung anggota badan ketika aman dari rasa nikmat. Tetapi Syafi'i justru mengharamkannya secara mutlak untuk dilihat (Al-Fiqhu 'aid Al Madzahib Al-Arba 'ah, Jilid I, bab satrul 'aurah).
Imamiyah: Membedakan antara yang wajib ditutupi bagi orang yang melihat dan yang wajib ditutupi bagi orang yang dilihat. Mereka berpendapat: Bagi lelaki tidak wajib ditutupi, kecuali dua kemaluannya, tetapi bagi wantia-wanita lain (bukan muhrimnya), diwajibkan menahan pandangannya, selain muka dan dua telapak tangannya. Ringkasnya bahwa seseorang lelaki boleh melihat badan lelaki lain, juga boleh melihat badan wanita yang dari muhrimnya., selain qubul dan dubur (dua kemaluannya) tanpa ragu-ragu. Wanita juga boleh melihat badan wanita lain, atau boleh melihat lelaki yang merupakan muhrimnya., selain dua kemaluannya tanpa ragu-ragu.
Anak-Anak
Tentang aurat anak kecil.
Hambali: Tidak ada batas aurat bagi anak kecil yang belum sampai berumur tujuh tahun. Maka boleh menyentuh semua badannya dan juga melihatnya. Tetapi bila lebih dari umur itu dan belum sembilan tahun, maka auratnya adalah dua kemaluannya (qubul dan dubur) kalau laki-laki, tapi kalau perempuan, maka auratnya adalah semua badannya di hadapan orang lain.
Hanafi: Tidak ada batas aurat bagi anak yang berumur empat tahun atau kurang dari umur tersebut, tapi kalau lebih dari empat tahun, maka auratnya adalah qubul dan dubur selama masih belum mempunyai keinginan (sex) yang kuat. Kalau ia telah sampai pada batas mempunyai syahwat maka hukumnya sama dengan orang-orang yang sudah baligh tak ada bedanya, baik laki-laki maupun wanita.
Maliki: Bagi wanita boleh melihat dan menyentuh anak-anak sampai berumur delapan tahun, bila berumur dua belas tahun, ia boleh melihat tapi tidak boleh menyentuhnya. Bila lebih dari itu, maka hukumnya sama dengan hukum orang lelaki. Bagi lelaki boleh melihat dan menyentuh anak kecil wanita yang berumur dua tahun delapan bulan, dan bila berumur empat tahun, hanya boleh melihat tapi tidak boleh menyentuhnya.
Syafi'i: Aurat anak lelaki yang sudah pubertas sama dengan batas aurat orang yang sudah baligh. Kalau orang yang belum pubertas dan belum bisa membedakan sifatnya, maka tidak ada batas auratnya. Tapi kalau bisa membedakan dengan syahwatnya., maka sama dengan baligh. Sedangkan anak wanita yang belum pubertas kalau ia telah mempunyai syahwat maka ia sama dengan wanita baligh. Bila tidak, haram dilihat farajnya. (kemaluannya) bagi orang yang tidak bertugas untuk mendidiknya.
Imamiyah: Anak lelaki yang mudah mamayyiz (pintar) yang sudah dapat membedakan bentuk apa yang ia lihat wajib menutupi auratnya, tapi bila. tidak pandai membedakan bentuk yang dilihatnya, ia tidak wajib menutupi auratnya. Ini kalau dikembalikan pada konteks wajibnya menutupi aurat. Sedangkan bolehnya melihat auratnya, maka Syaikh Ja'far dalam bukunya Al-Ghita menjelaskan: Tidak wajib menahan mata untuk melihat aurat orang yang belum berumur lima tahun, tetapi kalau melihatnya dengan syahwat tidak boleh secara mutlak.
Dari keterangan di atas jelaslah bagi saya, bahwa ada beberapa hadis dari Ahlil Bait (keluarga Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa 'Alihi wa Sallam) yang menjelaskan bahwa melihat aurat itu boleh sampai enam tahun bukan lima tahun.
Suara Wanita
Semua ulama sepakat bahwa suara wanita asing itu bukanlah aurat kecuali kalau dapat membangkitkan kenikmatan, atau takut dapat menimbulkan fitnah. Dan penulis buku Al-Jawahir memberi argumen tentang masalah ini di awal bab zuwaj dengan perjalanan sejarah yang terus berlaku di sepanjang masa dan tempat, dengan khutbah Az-Zahra serta putri-putrinya, dan percakapan para wanita dengan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa 'Alihi wa Sallam, dengan para Imam dan dengan para ulama di mana jumlahnya sangat banyak sekali (tidak bisa dihitung) serta bukan dalam keadaan terpaksa, dan para wanita yang mengadakan ma'tam (majlis duka) dan dalam perayaan-perayaan perkawinan, di mana mereka berada bersama kaum lelaki sejak dahulu kala, dan dengan adanya komunikasi serta percakapan antara lelaki dan wanita dalam pergaulan. Adapun firman Allah SWT:
"Janganlah kamu tunduk dalam berbicara..." (Q.S. Al Azhab, 32)
Jadi pada dasarnya tidak dilarang untuk berbicara, hanya cara berbicara dan tunduknya itu.
Warna Bukan Bentuk
Para ulama mazhab sepakat bahwa yang wajib ditutupi itu adalah warna (kulit) bukan bentuk (badan). (Tambahan dari penulis: Kalau kain penutup itu sama dengan warna kulit sehingga tidak bisa membedakan antara yang asli dan yang bukan, seperti pembalut daging, maka ada dan tidaknya penutup sama saja).
Antara Melihat dan Menyentuh
Setiap anggota badan yang boleh disentuh adalah boleh dilihat;
dan setiap yang haram dilihat, haram disentuhnya menurut kesepakatan semua ulama Mazhab, karena menyentuh itu lebih kuat dan lebih dahsyat dalam memberikan rangsangan kenikmatan dari pada menikmatinya dengan melihat. Tak ada seorang pun dari para ahli fiqih mazhab yang membolehkan antara melihat dan menyentuh secara bersamaan. Orang lelaki boleh melihat wajah dan telapak tangan wanita lain, tetapi tidak boleh menyentuh kecuali karena darurat, seperti memeriksa orang yang sakit dan menyelamatkan orang yang tenggelam. Ada hadis dari Imam Shadiq yang menjelaskan:
"Apakah boleh berjabatan tangan antara lelaki dengan wanita yang bukan muhrimnya? Beliau menjawab: Tidak, kecuali dari belakang kain (dengan berlapis)".
Hanafi: Mengecualikan kalau berjabatan dengan orang yang sudah tua. Dalam buku Ibnu Abidin, Jilid I, halaman 284 dijelaskan: Wanita remaja tidak boleh disentuh wajahnya dan dua telapak tangannya, sekalipun aman dari menimbulkan getaran syahwat. Sedangkan orang yang sudah tua yang tidak mempunyai syahwat, maka boleh disentuh tangannya kalau aman dari menimbulkan syahwat.
Imamiyah dan Hanafi: Boleh menyentuh anggota badan yang boleh dilihat oleh muhrimnya.. Sedangkan
Syafi'i tidak membolehkannya, bahkan pada orang lelaki pun dilarang untuk menyentuh perut ibunya dan punggungnya, tidak boleh memijit betis dan kakinya dan tidak boleh mengecup dahinya, begitu juga bagi seorang bapak tidak boleh menyuruh putrinya atau saudara perempuannya untuk memijit kakinya (Tozkiratu Al 'Allamah Al-Hilli, Jilid II, diawal bab Az-Zuwaj).
Antara Melihat dan Membuka
Imamiyah: Anggota badan yang boleh dibuka tidak pasti boleh untuk dilihatnya. Bagi seorang lelaki boleh membuka semua badannya kecuali dua kemaluannya, tetapi bagi wanita yang bukan muhrimnya. tidak boleh melihatnya. Saya tidak melihat pembahasan tentang masalah ini dalam buku-buku empat mazhab.
Perempuan Tua
Allah SWT berfirman:
"Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti dari haid dan mengandung, yang tidak ingin kawin lagi, tidaklah dosa kalau mereka menanggalkan pakaiannya, dengan tidak bermaksud menampakkan perhiasannya, dengan berlaku sopan adalah lebih balk bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar Lagi Maha Mengetahui". (Q.S. An-Nur 60).
Ayat di atas menunjukkan bahwa wanita-wanita tua yang tidak berkeinginan untuk kawin lagi karena umurnya sudah tua, maka mereka boleh menampakkan wajah mereka, sebagian rambutnya, lengannya, dan seterusnya yang biasa ditampakkan oleh wanita-wanita yang sudah berumur tua. Ada beberapa hadis dari Ahlul Bait yang menunjukkan seperti itu, dengan syarat bahwa maksud dari penampakkannya itu bukan untuk pamer, tetapi karena adanya kebutuhan. Tetapi menutupinya itu adalah lebih baik bagi mereka.18 Al-Jawahir, di awal bab Az-Zuwaj
Yang perlu diketahui bahwa semuanya itu bisa berubah menjadi tidak boleh kalau takut dapat menimbulkan sesuatu yang diharamkan, karena wanita sekalipun sudah sangat tua, ia tetapi bisa dipergunakan untuk melampiaskan hawa nafsu. Toleransi kepada wanita tua karena tumbuh anggapan bahwa mereka sa-ma dengan wanita kecil yang ddak mempunyai syahwat dan kenikmatan. Bila diperkirakan pasti terjadi rangsangan syahwat dan kenikmatan, maka hukumnya sama dengan wanita remaja.
Islam telah memberikan kemudahan bagi wanita-wanita yang berumur tua (lanjut), dan memperketat bagi para wanita remaja, tetapi dalam prakteknya atau kenyataannya justru terbalik dari yang diperintahkan Al-Qur'an dan kami sering melihat bahwa para wanita remaja yang justru memamerkan dan memperlihatkan bagian anggota badannya. Sedangkan para wanita yang berumur lanjut (tua) justru menjaga dan menutupi anggota badannya. Maka dari keterangan di atas, para wanita remaja berarti telah meremehkan yang diperintah Allah untuk memperketatnya (menutupi-nya), dan para wanita tua diperintahkan untuk mempermudahnya, bukan sebaliknya
end
BAB 15
ANGGOTA BADAN YANG WAJIB DITUTUPI KETIKA SHALAT
Semua ulama mazhab sepakat bahwa setiap orang lelaki dan wanita wajib menutupi sebagian anggota badannya ketika shalat sebagaimana yang diwajibkannya untuk menutupi bagian anggota badannya di hadapan orang lain (bukan muhrimnya) di luar shalat. Hanya mereka berbeda pendapat bila lebih dari itu. Maksudnya apakah wanita itu diwajibkan menutupi wajah dan dua telapak tangannya, atau hanya sebagian dari keduanya ketika shalat, padahal bagi wanita itu tidak diwajibkan untuk menutupinya di luar shalat? Dan apakah orang lelaki wajib menutupi selain pusar dan lutut ketika shalat, padahal ketika di luar shalat ia tidak wajib menutupinya?
Hanafi: Bagi wanita wajib menutupi belakang dua telapak tangan dan dua telapak kakinya, sedangkan bagi orang lelaki wajib menutupi dari lutut ke atas sampai pada pusar.
Syafi'i dan Maliki: Bagi wanita boleh membuka wajahnya, dan dua telapak tangannya (baik dalam maupun luarnya) ketika shalat.
Hambali: Tidak boleh dibuka kecuali wajahnya saja.
Imamiyah: Bagi setiap orang, baik lelaki maupun wanita wajib menutupi anggota badannya ketika shalat sebagaimana yang diwajibkan untuk menutupinya di luar shalat kalau ada orang lain (bukan muhrimnya) yang melihatnya, sedangkan bagi wanita boleh membuka wajahnya ketika shalat dengan ukuran yang dicuci dalam wudhu, boleh membuka dua telapak tangannya sampai pergelangannya dan kedua kakinya sampai dua betisnya, luar dalam. Sedangkan bagi lelaki wajib menutupi dua kemaluannya dan yang paling utama adalah antara pusar dan lutut.
Syarat-syarat Penutup Dalam Shalat
Pakaian penutup itu mempunyai syarat-syarat yang harus diusahakan dan diperhadkan, yaitu:
Suci
Sucinya kain penutup dan badan adalah merupakan syarat dari sahnya shalat, menurut kesepakatan semua ulama mazhab, hanya setiap mazhab telah mengecualikan beberapa sesuatu yang dimaafkan (dibolehkan) ketika shalat, sebagaimana yang dijelaskan di bawah ini:
Imamiyah: Yang termasuk dimaafkan adalah darah yang keluar dari luka dan bisul, kudis dan semacamnya, baik banyak maupun sedikit, baik di pakaian maupun di badan kalau menghilangkannya sulit dan sukar. Batas darah itu harus lebih sedikit dari bundaran dirham, baik dari orang yang shalat itu sendiri maupun dari orang lain, dengan syarat darah itu harus menyatu (berkumpul) bukan berceceran dan bukan dari darah yang tiga ini, yaitu: Darah haid, nifas dan darah istihadhah, serta bukan pula dari darah binatang yang najis, seperti darah anjing dan babi, bukan pula dari bangkai. Dimaafkan pula najis yang menimpa pakaian yang bukan merupakan pelengkap shalat, seperti kopiah (peci), kaos kaki, sandal, cincin dan gelang kaki, serta benda-benda yang dibawa seperti pisau dan uang kertas; juga dimaafkan dari baju wanita pengasuh untuk anak-anak, baik ibunya maupun bukan, dengan syarat dicuci sedap hari, dan bila tidak bisa ia harus menggantinya. Setiap najis yang mengena pakaian atau badan bila dalam keadaan darurat, maka najis itu dimaafkan.
Maliki: Dimaafkan dari kencing yang terus-menerus yang tidak bisa ditahan dan juga yang selalu buang air besar (yang tidak bisa ditahan-tahan) dan basah karena terkena penyakit wasir; juga yang menimpa baju atau pakaian orang (wanita) yang menyusui, baik itu dari kencing atau kotoran dari yang disusuinya dan juga mengenai baju atau badan penjagal, pembersih tempat mengambil wudhu dan dokter bedah, dan darah walaupun darah itu dari babi, dengan syarat tidak lebih dari bundaran dirham; serta darah yang keluar dari bisul-bisul dan dari kotoran kuda, dan banyak lagi lain-lainnya yang sengaja kami tinggalkan (lewat-kan) begitu saja, karena jarang terjadi.
Hanafi: Dimaafkan dari najis kalau hanya sebesar bundaran dirham: baik itu darah maupun lain-lainnya, dan juga dari kencing, kotoran kucing dan tikus kalau dalam keadaan darurat, serta dari percikan kencing kalau hanya sedikit (sebesar ujung jarum) dan darah yang mengenai penjagal karena darurat, dan dari Lumpur jalan walau bercampur dengan najis kalau ia tidak nampak oleh pandangan mata, dan seterusnya dan najis-najis yang ringan (mukhaffafah) seperti kencing binatang yang dagingnya boleh dimakan kalau melumuri seperempat pakaian atau kurang dari seperempatnya.
Syafi'i: Dimaafkan dari setiap najis kalau sedikit yang tidak kelihatan, dan dari Lumpur jalan yang bercampur dengan najis mukhaffafah (ringan) dan dari ulat buah-buahan, keju, dan dari cairan-cairan yang najis yang dimaksudkan untuk mengobati, bau-bauan yang harum, dan dari kotoran burung, dari bulu yang najis tapi sedikit selain bulu anjing dan babi, dan lain-lainnya yang dijelaskan di dalam beberapa buku secara panjang lebar.
Hambali: Dimaafkan dari darah dan nanah yang sedikit dan dari Lumpur jalan yang telah jelas najisnya serta dari najis yang mengenai mata manusia yang bila dibasuhnya sangat membahayakannya.
Memakai Sutra
Semua ulama mazhab sepakat bahwa memakai sutra dan emas adalah diharamkan bagi lelaki ketika shalat dan diluarnya, tetapi bagi wanita boleh, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa 'Alihi wa Sallam:
"Diharamkan memakai sutra dan emas bagi lelaki yang menjadi umatku, dan dihalalkan bagi wanita-wanita mereka. "
Dari landasan pemikiran ini Imamiyah berbeda pendapat:
Tidak sah shalatnya orang yang memakai sutra, khususnya bagi lelaki, dan juga tidak sah shalatnya kalau memakai pakaian yang disulam dengan emas, baik ia (pakaian) tali celana, peci, maupun kaos kaki sampai pada cincin emas, hanya mereka (Imamiyah) membolehkan untuk memakai sutra pada waktu shalat karena sakit atau dalam keadaan perang.
Syafi'i: Kalau seorang lelaki shalat dengan memakai sutra, maka ia berarti telah melakukan sesuatu yang diharamkan, hanya shalatnya tetap sah. (Al-Nawawi, Syarhul Muhadzdab, Jilid 3, halaman 179).
Saya tidak mendapatkan teks yang jelas dari mazhab-mazhab yang lain yang menjelaskan batalnya shalat atau sahnya kalau memakai sutra, tetapi
Hanafi sependapat dengan pandangan Syafi'i, begitu juga Hambali dalam salah satu riwayatnya berdasarkan kaidah umum, yaitu bahwa larangan untuk memakai sutra dan emas itu tidak berlaku dalam shalat dan tidak perlu mengulanginya lagi, sebagaimana larangan tentang ghashab, yang mana kalau memakai pakaian ghashab shalat tetap sah, hanya orang yang mukallafitu telah melakukan yang haram dan yang wajib secara bersamaan. Maka memakai sutra pun dalam shalat adalah sah, tetapi tetap haram memakainya.
Dalam buku Al-Fiqhu 'ala Al-Madzahib Al-Arba'ah dijelaskan bahwa bagi orang yang sangat terpaksa dibolehkan memakai pakaian sutra ketika shalat dan tidak wajib mengulanginya lagi, menurut kesepakatan semua ulama mazhab.
Kain Penutup Yang Dihalalkan
Imamiyah: Mensyaratkan bahwa kain penutup aurat itu adalah dengan barang yang dihalalkan. Maka kalau ada seseorang yang shalat dengan pakaian (penutup) ghashab, dan ia mengetahui bahwa pakaiannya itu ghashab batallah shalatnya. Salah satu riwayat Ibnu Hambali juga berpendapat demikian.
Mazhab-mazhab yang lain: Tetap sah shalat kalau memakai pakaian yang ghasab, karena larangan itu tidak berlaku dalam shalat yang dapat mencegah sahnya shalat.
Imamiyah: Justru lebih memperketat tentang masalah ghashab ini sampai sebagian dari Imamiyah ada yang berpendapat: Kalau ada seseorang yang shalat dengan pakaian yang benangnya dari barang ghasab, atau membawa pisau atau uang dirham ghashab, atas apa saja dari hasil rampasan, maka shalatnya tidak sah, hanya mereka berpendapat: Kalau ia shalat dengan barang ghashab karena tidak mengetahuinya atau karena lupa, maka shalatnya tetap sah.
Kulit Binatang yang Tidak boleh dimakan Dagingnya
Hanya Imamiyah saja yang menyatakan bahwa shalat seseorang itu tidak sah bila ia shalat pada kulit yang dagingnya tidak boleh dimakan sekalipun telah dimasak, baik itu bulunya, wolnya, ekor-nya, maupun rambutnya, dan juga sesuatu yang keluar dari binatang tersebut, seperti keringatnya dan air liurnya yang masih basah (lembab), walaupun hanya bulu kucing atau sejenisnya yang jatuh
pada pakaian orang yang shalat itu, maka bila ia meneruskannya padahal ia mengetahuinya, batallah shalatnya. Mereka mengecualikan lilin dan madu, darah kepinding, kutu, udang dan lain-lainnya dari binatang yang tidak berdaging, sebagaimana mereka mengecualikan rambut manusia, keringatnya dan air liurnya.
Imamiyah: Juga membatalkan shalat kalau kain penutup itu terdiri dari sebagian kulit bangkai binatang, baik dagingnya itu boleh dimakan maupun tidak, baik binatang yang darahnya mengalir maupun tidak, baik kulitnya itu dimasak maupun tidak.
Kalau pakaian orang shalat itu terkena najis yang tidak dimaafkan, dimana ia harus memilih, apakah ia akan shalat dengan kain najis atau akan shalat dengan telanjang, lain apa yang harus ia lakukan?
Hambali: la harus shalat dengan pakaian yang najis itu, tetapi ia wajib mengulanginya lagi. Maliki dan kebanyakan dari Imamiyah:
la harus shalat dengan pakaian yang najis itu, dan ia tidak mengulanginya lagi.
Hanafi dan Syafi'i: la harus shalat dengan telanjang bulat, dan ia tidak boleh memakai pakaian yang terkena najis itu untuk shalat.
end
BAB 16
TEMPAT ORANG SHALAT
Tempat Ghashab (Rampasan)
Imamiyah: Bila shalat di tempat ghashab, maka batal shalatnya, sama dengan pakaian ghashab, kalau melakukannya dengan sengaja dan ia tahu bahwa tempat itu hasil rampasan.
Mazhab-mazhab lain: Shalatnya tetap sah, tetapi orang yang shalat di tempat tersebut tetap dosa, karena larangan itu tidak berlaku dalam shalat, hanya berlaku dalam tindakan, sama dengan shalat yang memakai pakaian ghashab.
Pendapat empat mazhab yang menyatakan tetap sahnya shalat bagi orang yang memakai harta ghashab (ini adalah sangat jauh berbeda dengan pendapat Zaidiyah yang menyatakan bahwa orang yang memiliki harta, tidak sah shalatnya selama hartanya yang dighashab itu masih berada di tangan orang lain) karena larangan itu berlaku untuk tindakan ghashab.
Imamiyah berada di tengah-tengah antara dua pendapat tersebut, yaitu dengan menyatakan tetap sah shalatnya orang yang memiliki harta dan orang yang diizinkannya, tetapi mereka menyatakan batal shalatnya orang yang meng-ghashab dan tidak mendapat izin orang yang memilikinya. Imamiyah juga telah membolehkan shalat di bumi yang sangat luas ini bila tidak bisa atau sangat sukar bagi manusia untuk mencari tempat shalat, dan juga kalau tidak berhasil mendapatkan izin dari yang memilikinya.
Tempat Shalat Harus Suci
Empat mazhab: Tempat shalat itu harus suci dari najis, baik yang menular (membahayakan) maupun tidak, maksudnya najis yang kering maupun najis yang masih basah.
Syafi'i lebih tegas dengan mengatakan bahwa setiap benda yang melekat pada badan orang yang shalat dan pakaiannya adalah wajib suci. Bila menyentuh dinding yang najis, atau pakaian yang najis, atau memegang najis, atau memegang tali yang terkena najis, maka batallah shalatnya.
Hanafi: Yang harus suci cukup hanya tempat kedua kaki dan muka saja.
Imamiyah hanya mensyaratkan tempat wajah (dahi) saja yang harus suci, maksudnya tempat sujudnya. Sedangkan selain tempat sujud itu, maka tidak sampai membatalkan shalat, dengan syarat tidak sampai membasahi badan orang yang shalat itu dan pakaiannya.
Shalat di Atas Binatang Kendaraan
Hanafi dan Imamiyah: Mensyaratkan tempat shalat itu tetap. Maka dari itu, tidaklah layak bershalat di atas binatang kendaraan dan tidak pantas kalau shalat di dalam buaian (gendongan). Tapi bila darurat, tidak apa-apa, karena yang dalam keadaan udzur itu boleh melakukan shalat semampunya.
Syafi'i, Maliki dan Hambali: Sah shalat di atas binatang yang ditunggangi ketika aman dan bisa, kalau mencukupi beberapa syarat.
Shalat di Dalam Ka'bah
Imamiyah, Syafi'i dan Hanafi: Boleh shalat di dalam Ka'bah baik fardhu maupun sunnah.
Maliki dan Hambali: Boleh kalau shalat sunnah, tapi kalau shalat fardhu tidak boleh.
Wanita Shalat di Samping Lelaki
Sekelompok dari Imamiyah: Kalau lelaki dan wanita disatu tempat, dan wanita itu di mukanya (di depannya) atau sejajar, serta tidak ada batas antara keduanya atau lebih dari sepuluh hasta jaraknya, maka shalat orang yang memulai lebih dahulu (pertama kali) tidaklah batal, sedangkan orang yang shalatnya kemudian adalah batal, tetapi bila waktu memulainya bersamaan, maka shalat keduanya batal.
Hanafi: kalau wanita lebih maju (di depannya) atau sejajar dengan lelaki, maka batallah shalatnya dengan syarat tempatnya di satu tempat dan tidak dipisahkan antara keduanya dengan batas satu hasta, juga bahwa wanita itu masih memiliki daya tarik, dan tidak sejajar dengan betis dan mata kaki dan bukan pada shalat jenazah, serta shalatnya itu harus bersamaan, seperti kalau wanita itu mengikuti satu Imam atau dua orang Makmum yang mengikuti seorang Imam.
Syafi'i, Hambali dan kebanyakan dari Imamiyah: Shalatnya tetap sah, hanya dimakruhkan.
Letak Sujud Dahi
Semua ulama mazhab sepakat bahwa letaknya dahi adalah wajib tetap (tidak bergerak) dan tidak lebih tinggi dari letak dua lutut dengan ketinggian yang tidak biasanya. Hanya mereka berbeda pendapat tentang di atas apa sahnya sujud itu.
Imamiyah: Bersujud itu tidak boleh kecuali di atas tanah, atau dari tumbuh-tumbuhan yang tidak dimakan atau tidak dipakai (dijadikan pakaian). Maka orang yang shalat tidak boleh bersujud di atas wol, kapas dan barang tambang, juga tidak boleh di atas tumbuhan yang tumbuh di atas air, karena air itu bukan bumi.
Tetapi mereka (Imamiyah) membolehkan bersujud di atas kertas, karena bahannya dari tumbuh-tumbuhan yang dari bumi. Alasannya karena sujud itu adalah merupakan ibadah syar'iyah, ibadah yang bersifat dogmatis yang memerlukan cara-caranya berdasarkan nash.
Semua ulama mazhab sepakat bahwa bersujud di atas bumi itu adalah sah, dan di atas tumbuh-tumbuhan yang dari bumi. Dan agar lebih meyakinkan, kami kutip sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa 'Alihi wa Sallam:
“Tidaklah sempurna shalat di antara kamu sampai ia berwudhu sebagaimana yang diperintahkan Allah, kemudian menyujudkan dahinya di atas bumi sedapat mungkin".
Juga sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa 'Alihi wa Sallam yang lain:
"Bumi ini diciptakan sebagai tempat sujud dan suci".
Khabbab berkata: Kami melaporkan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa 'Alihi wa Sallam tentang panasnya matahari yang memancarkan sinar teriknya pada bumi kedka dahi-dahi kami bersujud. Tetapi beliau sendiri belum pernah mengadu (mengeluh) pada kami. Maka seandainya sujud itu boleh di atas kasur, sudah tentu mereka tidak akan mengadu kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa 'Alihi wa Sallam.
Imamiyah: Boleh sujud di atas kapas dan rami untuk kain linen bila dalam keadaan darurat.
Empat mazhab: Boleh bersujud di atas apa saja walau sampai di atas ujung dan lilitan surban dengan syarat ia suci.
Hanafi: Boleh bersujud di atas telapak tangan, hanya makruh bila tidak dalam keadaan darurat.
end
BAB 17
ADZAN
Adzan secara lughawi (etimologi): Menginformasikan semata-mata. Sedangkan secara istilah (terrninologi) adalah: Menginformasikan (memberitahukan) tentang waktu-waktu shalat dengan kata-kata tertentu. Adzan ini telah diperintahkan (dilakukan) sejak pada tahun pertama dari Hijrah Nabi Shallallahu 'Alaihi wa 'Alihi wa Sallam ke Madinah. Sedangkan diperintahkan (disyariatkan) menurut Syi'ah adalah bahwa malaikat Jibril yang membawa turun dari Allah kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa 'Alihi wa Sallam yang Mulia. Sedangkan menurut Sunni adalah Abdullah bin Zaid bermimpi ada orang yang mengajarinya, kemudian diceritakan hasil mimpinya itu kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa 'Alihi wa Sallam, lalu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa 'Alihi wa Sallam memastikannya untuk dipergunakan.
Adzan Adalah Sunnah
Hanafi, Syafi'i dan Imamiyah: Adzan itu adalah sunnah muakkad (yang dikuatkan).
Hambali: Adzan itu adalah fardhu kifayah di desa-desa dan di kota-kota pada sedap shalat lima waktu bagi lelaki yang mukim bukan musafir.
Maliki: Wajib fardhu kifayah disuatu desa (negara) yang didirikan shalat Jum'at. Bila penduduk desa (negara) tersebut meninggalkannya (mengabaikannya), maka mereka harus diperangi.
Adzan Tidak Boleh Pada Hal-hal Berikut
Hambali: Adzan itu tidak dilakukan untuk jenazah, shalat sunnah dan shalat nadzar.
Maliki: Adzan itu tidak boleh untuk shalat sunnah, shalat yang telah lewat, dan tidak pula untuk shalat jenazah.
Hanafi: Tidak boleh untuk shalat jenazah, juga tidak untuk shalat dua hari raya, gerhana matahari dan gerhana bulan, shalat tarawih dan tidak boleh pula untuk shalat sunnah.
Syafi'i: Tidak boleh untuk shalat jenazah, dan tidak pula pada shalat nadzar, dan tidak pula shalat-halat nafilah (sunnah) lainnya.
Imamiyah: Adzan itu tidak diperintahkan kecuali pada shalat-shalat yang sehari-hari saja dan setelah itu disunnahkan untuk shalat qadha' dan fardhu, baik berjama'ah maupun sendiri, baik musafir maupun bukan, baik wanita maupun lelaki. Dan tidak boleh adzan untuk shalat apa saja selain hal tersebut diatas, baik sunnah maupun wajib. Hanya pada shalat dua hari raya dan gerhana (baik bulan maupun matahari) seorang yang adzan itu cukup dengan mengucapkan "As-Sholah" sebanyak tiga kali.
Syarat-syarat Adzan
Semua ulama mazhab sepakat bahwa syarat sahnya adzan adalah kata-katanya harus berurutan dan tertib antara tiap-tiap bagiannya, dan orang yang adzan itu harus orang lelaki,19 muslim, dan berakal, tetapi sah juga kalau yang adzan itu anak kecil yang sudah mumayyiz (bisa membedakan antara yang bersih dan tidak).
19 Imamiyah: Bagi wanita disimnahkan adzan kalau mau shalat, tapi bukan untuk memberitahukan, sebagaimana disunnahkan juga shalat jama'ah bagi wanita agar salah seorang dari mereka adzan dan iqamat, hanya diusahakan agar suaranya itu tidak terdengar oleh lelaki. Empa mazhab: Hanya disunnahkan untuk iqamat, dan dimakruhkan adzan.
Semua ulama juga sepakat bahwa adzan ini tidak disyaratkan untuk suci.
Ulama mazhab berbeda pendapat selain hal di atas.
Hanafi dan Syafi'i: Sah adzan tanpa niat.
Mazhab-mazhab lain: Harus dengan niat.
Hambali: Adzan itu boleh dengan bahasa selain bahasa Arab secara mutlak.
Maliki, Hanafi dan Syafi'i: Bagi orang Arab tidak boleh adzan dengan selain bahasa Arab, dan bagi orang selain orang Arab boleh adzan dengan bahasanya sendiri untuk dirinya dan untuk para jama'ahnya.
Imamiyah: tidak boleh adzan sebelum masuk waktu shalat fardhu selain shalat Shubuh.
Syafi'i, Maliki, Hambali dan kebanyakan dari Imamiyah: Boleh mendahulukan adzan untuk memberitahukan tentang shalat Shubuh.
Hanafi: Dilarang mendahulukannya, dan tidak membedakan antara shalat Shubuh dengan shalat-shalat lainnya dan pendapat ini adalah lebih selamat.
Bentuk (Contoh) Adzan
"Allah Maha Besar", adalah empat kali menurut semua ulama mazhab.20
20 Selain Maliki, karena Maliki berpendapat bahwa bertakbir itu cukup dua kali saja.
Mari melaksanakan Shalat", dua kali menurut kesepakatan semua ulama mazhab.
"Marilah menuju pada sebaik-baiknya perbuatan", dua kali menurut Imamiyah saja.
"Allah Maha Besar", dua kali menurut kesepakatan semua ulama mazhab.
"Tidak ada Tuhan selain Allah", satu kali menurut empat mazhab, tetapi menurut Imamiyah dua kali.
Maliki dan Syafi'i: Boleh mengulang dua kali, hanya yang kedua kali itu adalah sunnah. Maksudnya tidaklah batal adzannya yang mencukupkan dengan satu kali, sebagaimana pendapat Imamiyah, bahwa pengulangan itu dinamakan i'addah (pengulangan lagi). Pengarang buku Al-Fiqhu 'ala Al-Madzahib Al-Arba'ah menukil tentang kesepakatan empat mazhab, yang menyatakan bahwa tatswib itu disunnahkan, yaitu menambah:
"Shalat itu adalah lebih baik dan tidur", dua kali setelah "Marilah menuju pada sebaik- baiknya perbuatan
Tetapi Imamiyah melarangnya. 21
21 Ibnu Rusyd dalam bukunya Bidayatul Mujtahid Jilid 1 halaman 103, cetakan tahun 1935 menjelaskan: Ada yang berpendapat bahwa tidak boleh mengatakannya, karena kalimat tersebut tidak termasuk adzan yang disunnahkan. Syafi’i memban-tahnya, yaitu bahwa sebab perbedaannya adalah, apakah penambahan itu terjadi pada masa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa 'Alihi wa Sallam atau pada masa Umar. Dalam buku Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, jilid I, halarnan 408, cetakan ketiga, dijelaskan: Ishaq berpendapat bahwa penambahan itu adalah merupakan sesuatu yang diadakan (diciptakan) oleh manusia. Abu 'Isa berpendapat: Tatswib ini adalah hal yang tidak disukai oleh para ahl ilmu (ilmuwan). Tatswib inilah yang menjadikan Ibnu Umar keluar dari masjid ketika mendengarnya.
end
BAB 18
IQAMAH
Iqamah untuk shalat itu disunnahkan, baik lelaki maupun wanita di dalam shalat-shalat fardhu yang sehari-hari, dan shalat fardhu langsung dilakukan setelah iqamah. Hukum iqamah sama dengan hukum adzan, yaitu harus berturut-turut tertib, bahasa arab; dan lain sebagainya. Inilah bentuk (contoh) iqaniah:
"Allah Maha Besar", dua kali menurut kesepakatan semua ulama mazhab, kecuali Hanafi yang menjadikannya empat kali.
"Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah", satu kali menurut Syafi'i, Maliki dan Hambali; sedangkan menurut Imamiyah dan Hanafi dua kali.
"Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah", satu kali menurut Syafi'i, Maliki dan Hambali; sedangkan menurut Imamiyah dan Hanafi adalah dua kali.
"Marilah melaksanakan shalat", satu kali menurut Syafi'i, Maliki dan Hambali; sedangkan menunit Imamiyah dan Hanafi adalah dua kali.
"Marilah menuju pada kemenangan", satu kali menurut Syafi'i, Maliki dan Hambali; sedangkan menurut Imamiyah dan Hanafi adalah dua kali.
"Marilah menuju pada sebaik-baiknya perbuatan", dua kali hanya menurut Imamiyah saja.
Telah tegak shalat itu", dua kali menurut kesepakatan semua ulama mazhab, kecuali Maliki. Menurut Maliki hanya satu kali saja.
"Allah Maha Besar", dua kali menurut kesepakatan semua ulama mazhab.
"Tidak ada Tuhan selain Allah", satu kali menurut kesepakatan semua ulama mazhab. Sebagian kelompok Imamiyah: Boleh bagi orang yang musafir dan orang yang terburu-buru memilih salah satu bagian dari adzan dan iqamah.
BAB 19
FARDHU-FARDHU SHALAT DAN RUKUN-RUKUNNYA
Sahnya shalat itu meliputi: Harus suci dari hadas dan kotoran, masuk waktu, menghadap Kiblat, dan harus memakai pakaian penutup aurat. Hal-hal di atas harus dipenuhi semuanya sebelum melaksanakan shalat, dan hal-hal itu dinamakan syarat, serta pembahasan masalah tersebut telah dijelaskan secara rinci sebelumnya. Shalat itu juga terdiri dari beberapa fardhu dan beberapa rukun yang harus dilaksanakan langsung ketika shalat. Rukun-rukun dan fardhu-fardhu itu sangat banyak, yaitu:
Niat
Ulama mazhab berbeda pendapat, bahkan para ahli fiqih dalam satu rnazhab juga berbeda antara yang satu dengan yang lain, yaitu tentang apakah orang yang shalat itu wajib berniat, apakah ia wajib menyatakan, yang mana ia berniat, misalnya shalat Dzuhur atau shalat Ashar, shalat fardhu atau sunnah, shalat sempurna atau shalat qashar (pendek), dan shalat ada'an atau shalat qadha' dan seterusnya.
Hakekatnya niat sebagaimana telah kami jelaskan dalam bab wudhu, bahwa niat itu adalah tujuan dari suatu perbuatan yang didorong oleh rasa taat dan patuh mengikuti perintah-perintah Allah. Sedangkan apakah niat itu dinyatakan apakah untuk shalat fardhu atau sunnah, apakah untuk shalat ada'an atau qadha', maka orang yang shalat itu sesuai dengan yang diniatkannya. Bila berniat shalat sunnah sejak memulai dan melaksanakannya, maka ia berarti telah melakukan shalat sunnah. Bila berniat shalat fardhu Dzuhur atau Ashar dan ia melaksanakannya, maka berarti ia telah melaksanakannya. Tapi bila tidak berniat apa-apa, maka berarti ia telah melakukannya dengan sia-sia. Namun tidak mungkin, bahkan mustahil ia tidak berniat, karena setiap perbuatan yang keluar dari orang yang berakal, dalam keadaan apapun tidak terpisah dari niat, baik dinyatakan (diungkapkan) dengan kata-kata tertentu, atau tidak.
Dari itu semua ulama mazhab sepakat bahwa mengungkapkan dengan kata-kata tidaklah diminta. Sebagaimana mustahil juga secara kebiasaan seseorang berniat melakukan shalat Dzuhur tetapi ia melakukan shalat Ashar, dan berniat melakukan shalat fardhu tetapi ia melakukan shalat sunnah, padahal ia tahu dan dapat membedakan antara dua shalat tersebut.
Tapi bagaimanapun juga, pembahasan tentang niat dan bagian-bagiannya ini tidak penah dikenal dalam masyarakat dahulu, yaitu yang berasaskan agama dan syariat. Dan alangkah baiknya, kalau kami menukil komentar dua orang ulama besar.
Pertama, dari kalangan Sunni, yaitu Ibnul Qayyim.
Kedua, dari kalangan Imamiyah (Syi'i), yaitu Sayyid Muhammad, pengarang buku Al-Madarik.
Ibnul Qayyim berpendapal dalam bukunya Zadul Ma 'ad, sebagaimana yang dijelaskan dalam jilid pertama dari buku Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah, sebagai berikut: Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa 'Alihi wa Sallam kalau menegakkan shalat, beliau Shallallahu 'Alaihi wa 'Alihi wa Sallam langsung mengucapkan "Allahu Akbar" (Allah Maha Besar) dan beliau tiak mengucapkan apa-apa sebelumnya, dan tidak melafalkan niat sama sekali, dan tidak pula mengucapkan "Ushali kadza mustaqbilal Kiblati arba 'a raka'atin imaman aumakuman" (Saya shalat ini atau itu dengan menghadap kiblat empat rakaat sebagai Imam atau Makmum), dan tidak pula berkata "ada-an" (melaksanakan) dan tidak pula "qadha'an" (mengganti), dan tidak pula "fardhol wakti" (shalat fardhu pada waktu ini). Ini semuanya merupakan bagian dari sepuluh perbuatan bid'ah, karena tidak ada nash shahih yang menceritakan dengan sanad yang shahih, dan tidak pula dengan sanad dha'if (lemah), dan tiak pula dengan sanad hasan, dari salah seorang tabi'in, dan tidak pula dari para Imam empat mazhab.
Sayyid Muhammad dalam bukunya Madarikul Ahkam tentang mabhatsu al-niyya awwalu as-shalati". (Pembahasan tentang niat sebagai perbuatan pertama dalam shalat), berkata: Kesimpulan yang ditarik dari dalil-dalil syam' adalah kemudahan untuk mengucapkan niat untuk melakukan perbuatan tertentu dalam rangka mematuhi perintah-perintah Allah. Masalah ini tidak terpisah dari orang yang berakal yang mempunyai tujuan untuk melaksanakan ibadah. Dari dasar inilah sebagian orang yang mempunyai kelebihan berkata: Seandainya Allah membebani seseorang dengan shalat atau ibadah-ibadah lainnya tanpa niat, maka ini merupakan beban yang tidak mampu dilaksanakan. Syahid menjelaskan dalam buku Al-Dzikra bahwa para ulama terdahulu tidak pernah menjelaskan tentang niat dalam buku fiqh mereka, bahkan mereka berkata: Rukun wudhu yang pertama ialah membasuh muka, dan rukun shalat yang pertama adalah takbiratui ihram. Seakan-akan wajahnya merupakan kadar bagi orang yang mengungkapkan niatnya dari masalah yang ia kerjakan, karena ia tidak mungkin berpisah dari yang dilakukannya, dan selebihnya bukanlah wajib. Keterangan yang memperkuat penjelasan tentang hal ini, adalah tidak dijelaskannya dalam beberapa ibadah secara khusus, serta beberapa hadis menjelaskan tentang bagiamana Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa 'Alihi wa Sallam berwudhu, mandi dan bertayammum, di mana pada dasarnya tidak ada yang menjelaskan tentang niat ini.
Takbiratul Ihram
Shalat tidak akan sempurna tanpa takbiratul ihram. Nama takbiratul ihram ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa 'Alihi wa Sallam :
"Kunci shalat adalah bersuci, dan yang mengharamkannya (dari perbuatan sesuatu selain perbuatan-perbuatan shalat) adalah takbir, dan penghalalnya adalah salam".
Yang dimaksud diharamkan adalah berbicara dan semua yang tidak berhubungan dengan shalat. Sedangkan yang dimaksud menghalalkannya adalah bahwa orang yang shalat itu diperbolehkan melakukan apa-apa yang diharamkan setelah takbir. Kalimat takbiratul ihram adalah "Allah Akbar" (Allah Maha Besar) tidak boleh memakai kata-kata lainnya
menurut Imamiyah, Maliki dan Hambali.
Syafi'i: Boleh mengganti "Allahu Akbar" dengan "Allahu Al-Akbar", ditambah dengan alif dan lam pada kata "Akbar".
Hanafi: Boleh dengan kata-kata lain yang sesuai atau sama artinya dengan kata-kata tersebut, seperti "Allah Al-A'dzam" dan "Allahu Al-Ajall" (Allah Yang Maha Agung dan Allah Yang Maha Mulia).
Semua ulama mazhab sepakat selain Hanafi bahwa mengucapkannya dalam bahasa Arab adalah wajib, walaupun orang yang shalat itu adalah orang ajam (bukan orang Arab). Bila ia tidak bisa maka ia wajib mempelajarinya. Bila tidak bisa belajar, ia wajib menerjemahkan ke dalam bahasanya.
Hanafi: Sah mengucapkannya dengan bahasa apa saja, walau yang bersangkutan bisa berbahasa Arab.
Semua ulama mazhab sepakat: Syarat takbiratul ihram adalah semua yang disyaratkan dalam shalat, seperti suci dari hadas, baik hadas kecil maupun besar, menghadap Kiblat, menutup aurat dan seterusnya. Kalau bisa melakukannya dengan berdiri; dan dalam mengucapkan kata "Allahu Akbar" itu harus didengar sendiri, baik terdengar secara keras oleh dirinya, atau dengan perkiraan jika ia tuli. Juga harus mendahulukan lafdzul Jalalah "Allah" dari pada kata "Akbar", dan kalau dibalik menjadi "Akbar Allah", tidak diperbolehkan.
Semua ulama mazhab sepakat bahwa berdiri dalam shalat fardhu itu wajib sejak mulai dari takbiratul ihram sampai ruku', harus tegap, bila tidak mampu ia harus shalat dengan duduk. Bila tidak mampu duduk, ia harus shalat miring pada bagian kanan, seperti letak orang yang meninggal di liang lahat, menghadapi Kiblat dihadapan badannya menurut kesepakatan semua ulama mazhab selain Hanafi.
Hanafi berpendapat: Siapa yang tidak bisa duduk, ia harus shalat terlentang dan menghadap Kiblat dengan dua kakinya sehingga isyaratnya dalam ruku'. dan sujud tetap menghadap Kiblat.
Dan bila tidak mampu miring ke kanan, maka menurut Imamiyah, Syafi'i dan Hambali ia harus shalat terlentang dan kepalanya menghadap ke Kiblat. Bila tidak mampu juga, ia harus mengisyaratkan dengan kepalanya atau dengan kelopak matanya.
Hanafi: Bila sampai pada tingkat ini tetapi tidak mampu, maka gugurlah perintah shalat baginya, hanya ia harus melaksanakannya (meng-qadha'-nya) bila telah sembuh dan hilang sesuatu yang menghalanginya.
Maliki: Bila sampai seperti ini, maka gugur perintah shalat terhadapnya, dan tidak diwajibkan meng-qadha nya.
Imamiyah, Syafi'i dan Hambali: Shalat itu tidaklah gugur dalam keadaan apapun. Maka bila tidak mampu mengisyaratkan dengan kelopak matanya (kedipan mata), maka ia harus shalat dengan hatinya dan menggerakkan lisannya dengan dzikir dan membacanya. Bila juga tidak mampu untuk menggerakan lisannya. maka la harus menggambarkan tentang melakukan shalat di dalam hatinya selama akalnya masih berfungsi.
Ringkasnya bahwa shalat itu wajib bagi orang yang mampu dan orang yang tidak mampu serta tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apapun. la harus dilaksanakan oleh setiap orang mukallaf dengan kadar kemampuannya. Bila tidak bisa berdiri, harus shalat duduk, bila tidak bisa duduk, ia harus shalat ter-lentang sambil miring ke kanan. Bila tidak bias juga, ia harus shalat terlentang saja, atau dengan kedipan matanya, atau bila juga tidak bisa, harus dengan hatinya saja dan ingatannya.
Orang yang mampu dan yang lemah (tidak mampu) ia harus berubah dari satu keadaan pada keadaan lainnya asal ia dapat melaksanakannya (shalat). Bila tidak mampu berdiri ketika shalat berdiri, maka ketika itu pula (sedang berdiri itu) ia harus shalat dengan duduk. Begitu juga sebaliknya, bagi orang yang shalat duduk, lalu datang kemampuannya untuk shalat berdiri, maka ia harus shalat berdiri ketika sedang shalat itu juga, dan seterusnya. Kalau shalat pada raka'at pertama ia berdiri lalu pada raka'at selanjutnya ia tidak mampu, maka ia harus meneruskannya dengan duduk. Bila mampu shalat duduk tapi ketika di pertengahan shalat datang halangan yang menyebabkan tidak mampu duduk, ia harus shalat dengan semampunya sampai selesai. Begitu juga sebaliknya, bila shalat duduk, lalu dipertengahan shalat datang kemampuannya untuk berdiri, ia harus shalat berdiri sampai selesai.
Bacaan
Ulama mazhab berbeda pendapat, apakah membaca Al-Fatihah itu diwajibkan pada setiap rakaat, atau pada setiap dua rakaat pertama saja, atau diwajibkan secara aini (yang harus pada setiap orang) pada semua rakaat?
Apakah basmalah itu merupakan bagian yang harus dibaca atau boleh ditinggalkannya?
Apakah semua bacaan yang dibaca dengan nyaring atau lemah pada tempatnya adalah wajib atau sunnah?
Apakah wajib membaca surat Al-Qur'an setelah Al-Fatihah pada dua rakaat pertama atau tidak?
Apakah membaca tasbih (Subhanallah) dapat mengganti kedudukan surat?
Apakah menyilangkan dua tangannya itu disunnahkan atau diharamkan? dan seterusnya.
Hanafi: Membaca Al-Fatihah dalam shalat fardhu tidak diharuskan, dan membaca bacaan apa saja dari Al-Qur'an itu boleh, berdasarkan Al-Qur'an surat Muzammil ayat 20:
“Bacalah apa yang mudah bagimu dari Al Qur'an", (Bidayahtul Mujtahid, Jilid I, halaman 122, dan Mizanul Sya'rani, dalam bab shifatus shalah).
Membaca Al-Fatihah itu hanya diwajibkan pada dua rakaat pertama, sedangkan pada rakaat ketiga pada shalat Maghrib, dan dua rakaat terakhir pada shalat Isya' dan Ashar kalau mau bacalah, bila tidak, bacalah tasbih, atau diam. (Al-Nawawi, Syarhul Muhadzdzab, Jilid III, halaman 361).
Boleh meninggalkan basmalah, karena ia tidak termasuk bagian dari surat. Dan tidak disunnahkan membacanya dengan keras atau pelan. Orang yang shalat sendiri ia boleh memilih, apakah mau didengar sendiri (membaca dengan perlahan) atau mau didengar oleh orang lain (membaca dengan keras), dan bila suka membaca secara sembunyi-sembunyi, bacalah dengannya. Dalam shalat itu tidak ada qunut kecuali pada shalat witir.
Sedangkan menyilangkan dua tangannya adalah sunnah bukan wajib. Bagi orang lelaki adalah lebih utama bila meletakkan telapak tangannya yang kanan di alas belakang telapak tangan yang kiri di bawah pusarnya, sedangkan bagi wanita yang lebih utama adalah meletakkan dua tangannya di atas dadanya.
Syafi'i: Membaca Al-Fatihah itu adalah wajib pada setiap rakaat tidak ada bedanya, baik pada dua rakaat pertama maupun pada dua rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah. Basmalah itu merupakan bagian dari surat, yang tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apapun. Dan harus dibaca dengan suara keras pada shalat Shubuh dan dua rakaat yang pertama pada shalat Maghrib dan Isya', selain rakaat tersebut harus dibaca dengan pelan. Pada shalat Shubuh disunnahkan membaca qunut setelah mengangkat kepalanya dari ruku' pada rakaat, kedua sebagaimana juga disunnahkan membaca surat Al-Qur'an setelah membaca Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama saja.
Sedangkan menyilangkan dua tangannya bukanlah wajib, hanya disunnahkan bagi lelaki dan wanita.
Dan yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan di belakang telapak tangannya yang kiri di bawah dadanya tapi di atas pusar dan agak miring ke kiri.
Maliki: Membaca Al-Fatihah itu harus pada setiap rakaat, tak ada bedanya, baik pada rakaat-rakaat pertama maupun pada ra-kaat-rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah, sebagaimana pendapat Syafi'i, dan disunnahkan membaca surat Al-Qur'an setelah Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama. Basmalah bukan termasuk bagian dari surat, bahkan disunnahkan untuk ditinggalkan. Disunnahkan menyaringkan bacaan pada shalat Shubuh dan dua rakaat pertama pada shalat Maghrib dan Isya', serta qunut pada shalat Shubuh saja.
Sedangkan menyilangkan dua tangan adalah boleh, tetapi disunnahkan untuk mengulurkan dua tangannya pada shalat fardhu.
Hambali: Wajib membaca Al-Fatihah pada setiap rakaat, dan sesudahnya disunnahkan membaca surat Al-Qur'an pada dua rakaat yang pertama. Dan pada shalat Shubuh, serta dua rakaat pertama pada shalat Maghrib dan Isya' disunnahkan membacanya dengan nyaring. Basmalah merupakan bagian dari surat, tetapi cara membacanya harus dengan pelan-pelan dan tidak boleh dengan keras.
Qunut hanya pada shalat witir bukan pada shalat-shalat lainnya. Sedangkan menyilangkan dua tangannya disunnahkan bagi lelaki dan wanita, hanya yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan pada belakang telapak tangannya yang kiri, dan meletakkan di bawah pusar.
Dari keterangan di atas jelaslah bagi kita bahwa menyilangkan dua tangan yang diungkapkan oleh para ahli fiqh Sunni adalah dengan memegang, sedangkan menurut pada ahli fiqh Syi'ah adalah dengan melepaskan, di mana dalam empat mazhab tidak diwajibkan untuk melepaskannya.
Imamiyah: Membaca Al-Fatihah hanya diwajibkan pada dua rakaat pertama pada setiap shalat, dan tidak cukup (boleh) pada rakaat yang lain. Dan tidak wajib pada raka'at ketiga pada shalat Maghrib, dan dua rakaat terakhir pada shalat yang empat rakaat, bahkan boleh memilih antara membacanya atau menggantinya dengan tasbih, dan orang yang shalat itu cukup dengan mengucapkan:
"Maha Suci Allah, dan segala puji bagi Allah, dan tidak ada Tuhan selain Allah, dan Allah Maha Besar", sebanyak tiga kali, tapi memadai dengan satu kali saja. Dan wajib membaca satu surat secara lengkap pada dua rakaat pertama.
Basmalah merupakan bagian dari surat yang tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apapun. Pada shalat Shubuh wajib membacanya dengan nyaring, tapi dzikir-dzikir yang lain tidak boleh dibaca dengan nyaring, juga dua rakaat pertama pada shalat Maghrib dan shalat Isya' wajib dinyaringkan. Sedangkan pada dua shalat Dzuhur (Dzuhur dan Ashar) Harus dipelankan selain basmalah.
Membaca basmalah dengan nyaring adalah disunnahkan pada dua rakaat pertama dari kedua shalat (Dzuhur dan Ashar) tersebut juga pada rakaat ketiga pada shalat Maghrib dan dua rakaat terakhir dari shalat Isya'. Disunnahkan ber-qunut pada semua shalat fardhu, yaitu pada rakaat kedua setelah membaca surat Al-Qur'an sebelum ruku'. Sekurang-kurangnya menyaringkan bacaan adalah didengar oleh orang yang paling dekat dengannya dan paling pelannya adalah didengar oleh dirinya sendiri.
Sedangkan bagi wanita tidak boleh menyaringkan bacaannya, menurut kesepakatan semua ulama mazhab, namun tidak boleh terlalu pelan sehingga tidak bisa didengar oleh dirinya sendiri. Kalau orang yang shalat itu secara sengaja menyaringkan bacaan yang seharusnya dipelankan, atau sebaliknya, maka shalatnya batal, tapi kalau melakukannya karena tidak tahu atau lupa, maka shalatnya sah.
Imamiyah: Juga mengharamkan mengucapkan amin, dan batal shalatnya kalau mengucapkannya, baik ketika shalat sendiri, menjadi Imam atau Makmum, karena hal itu termasuk pembicaraan manusia, sedang dalam shalat tidak dibenarkan mengucapkan kata yang merupakan pembicaraan manusia (yakni, kata amin merupakan kata yang hanya dipakai dalam masyarakat, bukan merupakan kata dari Al-Qur'an pent.)
Namun empat mazhab menyatakan, bahwa membaca amin adalah sunnah, ber-dasarkan hadis Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa 'Alihi wa Sallam bersabda:
"Kalau ingin mengucapkan Ghairil maghdzubi 'alaihim waladz-dzaallin, maka kalian harus mengucapkan amin".
Imamiyah menentang ke-shahih-a.n (Validitas) hadis tersebut. Kebanyakan Imamiyah menyatakan (berpendapat) bahwa menyilangkan dua tangan dalam shalat dapat membatalkan shalat, karena tidak ada ketetapan dari nash.
Sebagian berpendapat Imamiyah bahwa menyilangkan tangan adalah haram, maka siapa yang melakukannya adalah berdosa, tetapi tidak sampai membatalkan shalat. Pendapat ketiga dari Imamiyah: Hanya makruh saja, bukan haram.
Ruku'
Semua ulama mazhab sepakat bahwa ruku' adalah wajib di dalam shalat. Namun mereka berbeda pendapat tentang wajib atau tidaknya ber-thuma 'ninah di dalam ruku', yakni ketika ruku' semua anggota badan harus diam, tidak bergerak.
Hanafi: Yang diwajibkan hanya semata-mata nnembungkukkan badan dengan lurus, dan tidak wajib thuma'ninah.
Mazhab-mazhab yang lain: Wajib membungkuk sampai dua telapak tangan orang yang shalat ilu berada pada dua lututnya dan juga diwajibkan ber tuma'ninah dan diam (tidak bergerak) ketika ruku'.
Syafi’i, Hanafi dan Maliki: Tidak wajib berdzikir ketika shalat, hanya disunnahkan saja mengucapkan:
"Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung".
Imamiyah dan Hambali: Membaca tasbih ketika ruku' adalah wajib.
Kalimatnya menurut Hambali: "Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung".
Sedangkan menurut Imamiyah:
"Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung dan Segala Puji bagi-Nya",
atau mengucapkan:
"Maha Suci Allah", Sedangkan tiga kali, lalu di ditambahkan shalawat kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa 'Alihi wa Sallam dan keluarganya setelah bertasbih.
Hanafi: Tidak wajib mengangkat kepala dari ruku' yakni i'tidal (dalam keadaan berdiri). Dibolehkan untuk langsung sujud, namun hal itu makruh.
Mazhab-mazhab yang lain: Wajib mengangkat kepalanya dan beri’tidal, serta disunnahkan membaca tasmi', yaitu mengucapkan:
"Allah mendengar orang yang memuji-Nya".
Imamiyah mewajibkan thuma'ninah dan tidak bergerak ketika berdiri dari ruku' itu.
Sujud
Semua ulama mazhab sepakat bahwa sujud itu wajib dilakukan dua kali pada setiap rakaat. Mereka berbeda pendapat tentang batasnya. apakah diwajibkan (yang menempel) itu semua anggota yang tujuh, atau hanya sebagian saja?
Anggota tujuh itu adalah: Dahi, dua telapak tangan, dua lutut dan ibu jari dua kaki.
Maliki, Syafi'i dan Hanafi: Yang wajib (menempel) hanya dahi sedangkan yang lain-lainnya adalah sunnah.
Imamiyah dan Hambali: Yang diwajibkan itu semua anggota yang tujuh, secara sempurna. Bahkan Hambali menambahkan hidung, sehingga menjadi delapan.
Perbedaan juga terjadi pada tasbih dan thuma'ninah di dalam sujud, sebagaimana dalam ruku'.
Maka mazhab yang mewajibkannya di dalam ruku' juga mewajibkannya di dalam sujud.
Hanafi: Tidak diwajibkan duduk di antara dua sujud itu.
Mazhab-mazhab yang lain: Wajib duduk di antara dua sujud itu.
Tahiyyat
Tahiyyat di dalam shalat dibagi menjadi dua bagian:
Pertama yaitu tahiyyat yang terjadi setelah dua rakaat petama dari shalat Maghrib, Isya', Dzuhur dan Ashar dan tidak diakhiri dengan salam.
Yang kedua adalah tahiyyat yang diakhiri dengan salam, baik pada shalat yang dua rakaat, tiga atau empat rakaat.
Imamiyah dan Hambali: Tahiyyat pertama itu wajib.
Mazhab-mazhab lain: Hanya sunnah, bukan wajib.
Sedangkan pada tahiyyat terakhir adalah wajib, menurut Syafi'i, Imamiyah dan Hambali.
Sedangkan menurut Maliki dan Hanafi: Hanya sunnah, bukan wajib. (Bidayatul Mujtahid, Jilid I. Halaman 125).
Kalimat (lafadz) tahiyyat
Menurut Hanafi:
"Kehormatan itu kepunyaan Allah, shalawat dan kebaikan serta salam sejahtera"
"Kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya"'
"Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh"
"Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah"
"Dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya".
Menurut Maliki:
"Kehormatan itu kepunyaan Allah, kesucian bagi Allah, kebaikan dan shalawat juga bagi Allah"
"Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, juga rahmat Allah dan barakah-Nya "
"Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh"
"Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa"
"Tidak ada sekutu bagi-Nya
"Dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba-Nya dan utusan-Nya ".
Menurut Syafi'i:
"Kehormatan, barakah-barakah, shalawat dan kebaikan adalah kepunyaan Allah "
"Salam sejahtera kepadamu wahai Nabi, juga rahmat Allah dan barakah-Nya "
"Semoga kesejahteraan tercurah bagi kami dan bagi hamba-hamba Allah yang saleh"
"Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah"
"Dan aku bersaksi bahwa junjungan kami, Muhammad, adalah utusan Allah".
Menurut Hambali:
"Kehormatan itu kepunyaan Allah, juga shalawat dan kebaikan"
"Salam sejahtera kepadamu wahai Nabi, juga rahmat Allah dan barakah-Nya"
"Semoga kesejahteraan tercurah bagi kami dan juga bagi hamba-hamba Allah yang saleh"
"Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, yang Esa, tidak ada sekutu baginya"
"Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya"
"Ya Allah, berikanlah shalawat kepada Muhammad".
Menurut Imamiyah:
"Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya"
"Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya"
"Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad".
Mengucapkan Salam
Syafi'i, Maliki dan Hambali: Mengucapkan salam adalah wajib.
Hanafi: Tidak wajib. (Bidayatul Mujtahid, Jilid I, halaman 126).
Dalam Imamiyah sendiri terjadi perbedaan pendapat: Ada sekelompok Imamiyah yang menyatakan wajib, sedangkan sebagian kelompok lain menyatakan hanya sunnah. Di antara orang yang menyatakan sunnah adalah Al-Mufid Syaikh Al-Thusi dan Al-Allamah Al-Hilli.
Menurut empat mazhab, kalimatnya sama yaitu:
"Semoga kesejahteraan dan rahmat Allah tercurah kepada kalian"
Hambali: Wajib mengucapkan salam dua kali, sedangkan yang lain hanya mencukupkan satu kali saja yang wajib.
Imamiyah: Mengucapkan (menyampaikan) salam itu ada dua lafadz (kalimat)
Pertama: "Semoga kesejahteraan tercurah bagi kami dan bagi para hamba Allah yang saleh".
Kedua: "Semua kesejahteraan tercurah bagi kamu sekalian, juga rahmat Allah, dan barakah-Nya".
Yang wajib itu adalah salah satu, jika telah membaca yang pertama, maka yang kedua itu disunnahkan. Dan jika membaca yang kedua, cukup dengan membaca itu saja dan berhenti disitu. Sedangkan salam:
bukan salam yang harus dibaca pada waktu shalat, hanya disunnahkan membacanya setelah tasyahhud.
Tertib
Diwajibkan tertib antara bagian-bagian shalat. Maka takbiratul ihram wajib didahulukan dari bacaan Al-Qur'an (salam atau Al-Fatihah), sedangkan membaca Al-Fatihah wajib didahulukan dari ruku', dan ruku' didahulukan dari sujud, begitu seterusnya.
Berturut-turut
Diwajibkan mengerjakan bagian-bagian shalat secara berurutan dan langsung,juga antara satu bagian dengan bagian yang lain. Artinya membaca Al-Fatihah langsung setelah bertakbir (takbiratul ihram) tanpa ada antara (selingan). Dan mulai ruku' setelah membaca Fatihah atau ayat Al-Qur'an, tanpa selingan, begitu seterusnya. Juga tidak boleh ada selingan lain, antara ayat-ayat, kalimat-kalimat dan huruf-huruf.
BAB 20
LUPA DAN RAGU DALAM SHALAT
Para ulama dari seluruh mazhab sepakat bahwa orang yang meninggalkan salah satu kewajiban shalat dengan sengaja maka shalatnya menjadi batal. Dan kalau ia meninggalkannya karena lupa, ia harus menggantikannya dengan sujud sahwi, dengan cara-cara yang diterangkan berikut ini;
Hanafi: sujud sahwi itu adalah dua kali sujud, membaca tasyahhud dan memberi salam, kemudian membaca shalawat atas Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa 'Alihi wa Sallam, serta membaca doa.
Letak sujud sahwi menurut mazhab ini adalah sesudah salam, dengan syarat waktunya masih luas. Apabila seseorang lupa sesuatu kewajiban shalat dalam shalat Shubuh misalnya, kemudian matahari terbit sebelum ia melakukan sujud sahwi maka manjadi gugurlah keharusannya melakukan sujud sahwi itu.
Adapun sebab-sebab sujud sahwi itu adalah apabila orang meninggalkan kewajiban shalat, atau menambahkan rukun shalat seperti ruku' dan sujud. Jika ia lupa berkali-kali, maka cukup baginya dua kali sujud saja, sebab mengulangi sujud sahwi itu tidak digariskan dalam mazhab mereka. Dan kalau seseorang lupa dalam sujud sahwi-nya, maka tidak ada sujud sahwi baginya. Demikian disebutkan dalam kitab Majma'ul Anhar, Jilid I, bab sujud sahwi
Maliki: Sujud sahwi itu jumlahnya dua kali sujud, yang diakhiri dengan pembacaan tasyahhud tanpa doa dan shalawat atas Nabi Shallallahu 'Alaihi wa 'Alihi wa Sallam.
Adapun letak sujud sahwi menurut mazhab Maliki harus diperhatikan, jika karena kekurangan saja atau karena kekurangan dan kelebihan bersamaan, maka letaknya adalah sebelum salam. Dan kalau karena kelebihan saja, maka letaknya sesudah salam.
Juga harus diperhatikan sebab-sebab yang mengharuskan sujud sahwi itu. Jika kelupaan ilu dalam hal kekurangan dan yang ditinggalkan itu sunnah mustahabbah, maka harus dilakukah sujud sahwi. Dan jika yang ditinggalkan itu adalah salah satu dari kewajiban shalat, maka tidak dapat digantikan dengan sujud sahwi, tetapi harus dikerjakan kewajiban yang sama. Dan jika lupanya itu karena lebih mengerjakan sesuatu rukun shalat, misalnya menambah satu atau dua ruku', atau menambah satu atau dua rakaat, maka itu boleh diganti dengan sujud sahwi.
Hambali: Sujud sahwi boleh dilakukan sebelum dan sesudah salam. Jumlahnya dua kali sujud dengan diakhiri tasyahhud dan salam. Sebab dilakukannya sujud sahwi itu, menurut mazhab Hambali, adalah karena kelebihan, kekurangan atau keraguan.
Yang dimaksud dengan kelebihan di sini adalah seperti kalau orang menambah qiyam (tegak) atau qu'ud (duduk). Orang yang duduk, padahal seharusnya ia berdiri, atau ia berdiri padahal seharusnya ia duduk, maka ia harus melakukan sujud sahwi.
Adapun dalam hal kekurangan, maka ia mempunyai amliah (tata-cara) tersendiri dalam mazhab mereka. Yaitu, jika seseorang ingat bahwa ia telah lupa melakukan salah satu rukun atau kewajibkan shalat sebelum ia memulai pembacaan Al-F'atihah pada rakaat berikutnya maka ia harus mengulang apa yang ia lupakan tersebut dan kemudian melakukan sujud sahwi. Tetapi kalau ia tidak ingat hingga ia selesai membaca Al-Fatihah pada rakaat berikutnya, maka rakaat ini dianggap menggantikan rakaat sebelumnya yang digugurkan, kemudian sujud sahwi.
Sebagai contoh: Seseorang lupa tidak ruku' pada rakaat pertama dan setelah sujud baru diingatnya. Dalam kasus ini, ia harus ruku' baru kemudian mengulang sujud. Tetapi jika ia baru ingat sesudah masuk ke rakaat kedua dan telah membaca Al-Fatihah, maka rakaat pertama tadi dianggap gugur, dan rakaat kedua ini menjadi rakaat pertama.
Sedangkan keraguan yang mengharuskan sujud sahwi itu contohnya adalah sebagai berikut: Seseorang merasa ragu-ragu dalam meninggalkan ruku' atau jumlah rakaat, maka dalam kasus ini, ia harus menetapkan atas dasar yang lebih meyakinkan dan kemudian melakukan apa yang diragukannya. Sesudah selesai shalat dengan sempurna, barulah ia melakukan sujud sahwi. Cukup dua kali sujud saja untuk semua kelupaan, walaupun yang menyebabkannya berbilang. Sebab menurut mereka, tidak ada sujud sahwi karena banyak lupa. Maksudnya, cukup satu sujud sahwi saja untuk lupa yang banyak.
Syafi'i: Waktu sujud sahwi adalah sesudah tasyahhud dan Shalawat atas Nabi Shallallahu 'Alaihi wa 'Alihi wa Sallam dan sebelum salam. Adapun sifatnya adalah sama seperti mazhab-mazhab terdahulu. Sedangkan sebabnya adalah karena meninggalkan sunnah muakkadah, atau menambah sedikit perkataan, atau menambah bacaan Al-Fatihah karena lupa, atau karena mengikuti orang yang dalam shalatnya ada kekurangan, atau karena ragu-ragu dalam jumlah rakaat, atau meninggalkan bagian tertentu.
Imamiyah: Dalam hal ini, Imamiyah telah membedakan antara hukum ragu-ragu dan hukum alpa itu. Mereka mengatakan: Keragu-raguan dalam af’al shalat tidaklah diperhatikan jika terjadi setelah selesai mengerjakan shalat, juga terhadap keraguan Makmum dalam jumlah rakaat dengan keyakinan Imam, dan keraguan Imam dengan keyakinan Makmum, itu semua dikembalikan kepada apa yang di-ingat oleh yang lain. Dan tidak pula diperhatikan keraguan yang baik, dan keraguan dalam salah satu af’al shalat setelah masuk kepada af’al lainnya yang berurutan dengannya. Apabila seseorang ragu-ragu dalam hal pembacaan Al-Fatihah, sedang ia sudah mulai membaca surat; atau ragu-ragu dalam hal pembacaan surat, sedang ia telah ruku', atau ragu-ragu dalam ruku' sedang ia telah sujud, maka dalam semua kasus ini ia harus meneruskan shalatnya dan tidak perlu memperhatikannya.
Adapun jika ia ragu-ragu sebelum masuk af’al (perbuatan) berikutnya, maka wajib atasnya melakukan apa yang ia ragukan itu. Orang yang ragu-ragu, apakah sudah membaca surat Al-Fatihah atau belum, dan itu diingatnya sebelum ia memulai membaca surat, maka dalam hal ini ia harus membaca Al-Fatihah. Begitu juga kalau ia lupa membaca surat sebelum ruku', maka ia harus membacanya.
Sedangkan sujud sahwi itu dilakukan untuk semua kelebihan dan kekurangan selain dari membaca dengan suara keras (jahar) dikala seharusnya membaca pelan (ikhfat), atau membaca dengan pelan ketika seharusnya membaca dengan keras, maka keduanya ini tidak diharuskan sujud sahwi Begitulah juga rukun shalat, karena kelebihan atau kekurangan dalam rukun itu membatalkan shalat, baik karena lupa maupun sengaja.
Adapun rukun shalat menurut mereka ada lima: Niat, takbiratul ihram, qiyam (berdiri), ruku', kedua sujud dalam satu rakaat.
Semua bagian shalat yang tinggal karena lupa, tidak wajib diperbaiki sesudah shalat kecuali sujud dan tasyahhud. Yang mana keduanya itu wajib di-qadha' (diulang) dan dilaksanakan sesudah shalat dan kemudian melakukan sujud sahwi. Sifat sujud sahwi menurut mereka adalah dua kali sujud, dan dalam sujud itu mambaca:
“Bismillahi wa Billahi, Allahuma Shalli ala Muhammadin wa Ali Muhammadin.”
Kemudian membaca tasyahhud dan memberi salam. Sujud sahwi wajib dilakukan beberapa kali dengan beberapa sebab yang mengharuskannya. Dan bagi orang yang pelupa, tidak wajib melakukan sujud sahwi, begitu juga orang yang lupa dalam sujud sahwinya.
Ragu Tentang Jumlah Rakaat
Syafi'i, Maliki dan Hambali: Apabila seseorang merasa ragu-ragu dalam jumlah rakaat yang dikerjakannya, ia tidak tahu sudah berapa rakaat yang dikerjakan, maka hendaklah ditetapkannya atas dasar yang lebih meyakinkan, yaitu yang jumlahnya paling sedikit, kemudian menyempurnakan shalat dengan sisa rakaat yang belum dikerjakan.
Hanafi: Jika keraguannya dalam shalat itu merupakan yang pertama kali dalam hidupnya, maka ia harus mengulangi shalat itu dari permulaan. Dan kalau sebelumnya ia pernah ragu-ragu dalam shalatnya, maka hendaklah direnungkannya sejenak, dan kemudian melakukan menurut persangkaannya yang lebih kuat. Jika masih tetap ragu-ragu, maka ia harus menetapkan atas jumlah yang lebih sedikit, karena yang demikian lebih meyakinkan.
Imamiyah: Jika keragu-raguan itu timbul pada shalat-shalat yang jumlahnya dua rakaat, seperti shalat Shubuh, shalat Musafir, shalat Jum'at, shalat 'Idain (dua hari raya), shalat Gerhana, atau pada shalat Maghrib, atau pada dua rakaat pertama pada shalat-shalat yang jumlahnya empat rakaat, yaitu Isya', Dzuhur dan Ashar, maka shalatnya menjadi batal dan harus diulang dari permulaan. Namun kalau keragu-raguan itu timbul pada dua rakaat terakhir pada shalat ruba'iyah (yang jumlahnya empat rakaat), maka hendaklah dikerjakan shalat ihtiyath setelah menyelesaikan shalat dan sebelum melakukan hal-hal lain.
Contoh: Seseorang merasa ragu-ragu antara dua rakaat dan tiga rakaat, sesudah menyelesaikan dua sujud, maka ia harus menetapkan atas jumlah yang lebih banyak, dan menyempurnakan shalat, kemudian shalat ihtiyath dua rakaat sambil duduk, atau satu rakaat sambil berdiri. Jika ia ragu-ragu antara tiga rakaat dan empat rakaat, maka ia harus menetapkan empat rakaat, lalu ia sempurnakan shalatnya, kemudian mengerjakan shalat ihtiyaih satu rakaat sambil berdiri, atau dua rakaat sambil duduk. Jika ia ragu-ragu antara dua rakaat dan empat rakaat, maka hendaklah ditetapkannya empat rakaat, kemudian ia kerjakan shalat ihtiyath dua rakaat sambil berdiri. Dan jika ragu-ragu antara dua rakaat, tiga rakaat dan empat rakaat, maka hendaklah ditetapkannya empat rakaat, kemudian ia kerjakan shalat ihtiyath dua rakaat sambil berdiri dan dua rakaat sambil duduk.
Mereka memberi alasan untuk menjaga hakekat shalat dan menghindarkan penambahan dan pengurangan dalam shalat. Jelasnya adalah seperti yang disebutkan dalam contoh berikut:
Orang yang merasa ragu-ragu antara tiga rakaat dan empat rakaat, lalu ia me-netapkannya empat rakaat, setelah itu ia mengerjakan satu rakaat terpisah setelah selesai shalat. Seandainya shalat yang sudah dikerjakannya itu sempurna, maka satu rakaat terpisah yang ia kerjakan tadi dianggap sebagai nafilah (shalat sunnah). Dan jika memang shalatnya kurang satu rakaat, maka rakaat terpisah tadi adalah sebagai pelengkapnya. Bagaimanapun, shalat ihtiyath dengan cara demikian ini hanya terdapat dalam mazhab Imamiyah.
Tata cara shalat ihtiyath seperti yang dijelaskan di atas, pada mazhab Imamiyah hanya terbatas pada shalat-shalat fardhu saja terutama pada shalat Dzuhur, Ashar dan Isya'. Sedangkan untuk shalat-shalat sunnah, orang boleh memilih menetapkan antara yang lebih sedikit atau yang lebih banyak, kecuali bila merusak shalat, seperti kalau orang yang ragu-ragu apakah ia sudah mengerjakan shalat dua rakaat atau tiga rakaat, padahal diketahuinya bahwa shalat sunnah itu hanya dua rakaat, maka dalam hal ini ia harus menetapkan pada yang lebih sedikit.
Memang, yang lebih utama adalah menetapkan pada bilangan yang lebih kecil secara mutlak pada shalat-shalat sunnah. Dan kalau ia merasa ragu-ragu dalam shalat ihtiyath, maka hendaklah ditetapkannya pada yang lebih banyak, kecuali kalau yang lebih banyak itii bisa membatalkan, maka dalam hal ini harus menetapkan pada jumlah rakaat yang lebih sedikit.
Sebagian ulama Imamiyah mengatakan hendaknya dipilih antara menetapkan jumlah rakaat yang lebih sedikit dan yang lebih banyak.
end
BAB 21
SHALAT JUM'AT
a. Kewajiban Shalat Jum'at
Menurut ijma' kaum Muslimin, shalat Jum'at hukumnya wajib berdasarkan Firman Allah di dalam surat Al-Jumu'ah ayat 9:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu diseru untuk shalat (mendengar adzan) pada hari Jum'at, maka hendaklah kamu segera mengingat Allah (shalat Jum'at) dan tinggalkanlah jual-beli"
Juga berdasarkan pada hadis-hadis mutawatir, baik dari kalangan Sunnah maupun Syi'ah. Perbedaan pendapat mereka adalah dalam hal:
Apakah syarat kewajiban shalat Jum'at itu berkaitan dengan adanya Sultan, atau wakilnya, atau ia wajib dalam segala keadaan?
Hanafi dan Imamiyah mengatakan: Disyaratkan adanya Sultan atau walinya, dan menjadi gugur dengan ketiadaan salah seorang dari mereka. Selain dari itu, Imamiyah menambahkan syarat lainnya, yaitu keadilan Sultan, kalau tidak adil maka keberadaannya itu sama dengan ketiadaannya.
Sedangkan Hanafi hanya mensyaratkan keberadaaan Sultan sekalipun tidak adil.
Mazhab, Syafi'i, Malaki dan Hambali: Tidak menganggap perlu adanya Sultan. Dan kebanyakan ulama Imamiyah menyatakan, jika Sultan atau wakilnya tidak ada, tetapi ada faqih (ahli fiqh) yang adil, maka boleh dipilih antara mengerjakan shalat Dzuhur dan shalat Jum'at, walaupun lebih dianjurkan mengerjakan shalat Juma'at.
b. Syarat-Syarat Shalat Jum'at
Seluruh ulama sepakat bahwa syarat-syarat shalat Jum'at itu sama dengan syarat-syarat shalat lainnya, seperti bersuci, menutup aurat, menghadap Kiblat. Dan waktunya dari mulai tergelincirnya matahari sampai bayangan segala sesuatu sama panjangnya. Dan ia boleh didirikan di dalam masjid atau di tempat lainnya, kecuali mazhab Maliki mereka menyatakan bahwa shalat Jum'at itu tidak sah kecuali bila dikerjakan di dalam masjid.
Dan seluruh ulama telah sepakat bahwa shalat Jum'at itu diwajibkan atas laki-laki saja, sedang wanita tidak. Dan bahwa orang yang sudah mengerjakan shalat Jum'at, maka menjadi gugurlah kewajiban shalat Dzuhur daripada. Dan bahwa shalat Jum'at itu tidak diwajibkan atas orang buta, dan tidak sah kecuali dengan berjama'ah.
Dalam hal jumlah jama'ah shalat Jum'at ini terdapat perselisihan pendapat,
Maliki: Sekurang-kurangnya 12 orang selain Imam.
Imamiyah: Sekurang-kurangnya 4 orang selain Imam.
Syafi'i dan Hambali: Sekuang-kurangnya 40 orang selain Imam.
Hanafi: 5 orang, dan sebagian ulama mereka yang lain mengatakan 7 orang.
Mereka sepakat tidak boleh bepergian pada hari Jumat bagi orang yang wajib mengerjakan shalat Jum'at dan telah cukup syarat-syaratnya, sesudah tergelincirnya matahari, sebelum ia selesai mengerjakan shalat Jum'at tersebut,
kecuali mazhab Hanafi, mereka menyatakan boleh.
DuaKhutbah
Seluruh ulama sepakat bahwa dua khutbah itu termasuk syarat sahnya shalat Jum'at. Pelaksanaannya adalah sebelum shalat, sudah masuk waktunya bukan sebelumnya. Tetapi mereka berselisih pendapat dalam hal kewajiban berdiri ketika melakukan dua khutbah itu.
Imamiyah, Syafi'i dan Maliki mengatakan: Wajib.
Sedang Hanafi dan Hambali: Tidak wajib.
Adapun tata caranya adalah sebagai berikut:
Hanafi: Khutbah itu terwujud dengan Sekurang-kurangnya dzikir yang memungkinkan, sehingga kalau dikatakan "Alhamdulillah" atau "Astaghfirullah", maka sudah mencukupi. Akan tetapi yang demikian itu hukumnya makruh.
Syafi'i: Kedua khutbah itu harus berisikan pujian kepada Allah (hamdalah), shalawat atas Nabi Shallallahu 'Alaihi wa 'Alihi wa Sallam, wasiat takwa dan pem-bacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an sekurang-kurangnya pada salah satu dari kedua khutbah itu, namun lebih utama pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an itu pada khutbah yang pertama, serta doa untuk kaum Mukminin dalam khutbah kedua.
Maliki: Semua yang dinamakan khutbah dalam urusan adat istiadat mencukupi untuk hal ini, asal mengandung peringatan kepada ketakwaan.
Hambali: Harus ada hamdalah, shalawat atas Nabi Shallallahu 'Alaihi wa 'Alihi wa Sallam, pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an dan wasiat kepada ketakwaan.
Imamiyah: Wajib ada di dalam kedua khutbah itu ucapan pujian dan sanjungan kepada Allah Ta'ala, shalawat atas Nabi Shallallahu 'Alaihi wa 'Alihi wa Sallam dan keluarganya, nasehat agama, pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an, dan pada khutbah kedua ditambah dengan istighfar dan doa untuk kaum Mukminin dan Mukminat.
Selanjutnya mazhab Syafi'i dan Imamiyah menyatakan: Khatib wajib memisahkan antara kedua khutbah itu dengan duduk sejenak.
Sedang mazhab Maliki dan Hanafi mengatakan bahwa hal itu tidak wajib, tetapi mustahab.
Mazhab Hanafi mensyaratkan: Khutbah itu harus dikemukakan dengan bahasa Arab kalau mampu.
Syafi'i mengatakan: Disyaratkan dengan bahasa Arab kalau pendengaran adalah orang-orang yang berbahasa Arab, tetapi kalau para pendengarnya itu orang-orang ajam, maka khatib harus menyampaikan khutbahnya dengan bahasa yang dimengerti mereka, walaupun ia dapat berbahasa Arab dengan baik.
Maliki mengatakan: Khatib wajib menyampaikan khutbah dengan bahasa Arab, sekalipun jama'ahnya orang-orang ajam yang tidak mengerti bahasa Arab. Jika di antara kaum itu tidak ada yang mampu berbahasa Arab dengan baik, maka gugurlah kewajiban shalat jum'at dari mereka.
Mazhab Hanafi serta Imamiyah mengemukakan bahwa bahasa Arab tidak disyaratkan dalam penyampaian khutbah Jum'at.
d. Tatacara Shalat Jum'at
Shalat Jum'at itu dua rakaat seperti shalat shubuh.
Mazhab Imamiyah dan Syafi'i: Disunnahkan membaca surat Al-Jumu'ah pada rakaat pertama, dan surat Al-Munafiqun pada rakaat kedua, masing-masing sesudah membaca Al-Fatihah.
Mazhab Maliki: Sunnah membaca Surat Al-jumu'ah pada rakaat pertama, dan Surat Al-Ghasyiyah pada rakaat kedua.
Dan mazhab Hanafi menyatakan: Makruh hukumnya menentukankan pembacaan surat secara khusus.
end
BAB 22
SHALAT 'IDAIN (Shalat dua Hari Raya)
Para ulama berselisih pendapat tentang shalat Idul Fitri dan shalat Idul Adha, apakah hukumnya, wajib atau sunnah?
Mazhab Imamiyah dan Hanafi mengatakan kedua shalat 'led itu hukumnya fardhu 'ain dengan syarat-syarat yang ada pada shalat Jum'at. Kalau syarat-syarat tersebut atau sebagian dari padanya tidak terpenuhi, maka menurut kedua rnazhab tersebut kewajiban tersebut menjadi gugur.
Hanya Imamiyah menambahkan: Jika syarat-syarat wajib tidak terpenuhi, maka ia kerjakan sebagai shalat sunnah, baik secara berjama'ah maupun perorangan, dalam bepergian maupun mukim.
Mazhab Hambali mengatakan: Hukumnya fardhu kifayah.
Mazhab Syafi'i dan Maliki mengatakan: Hukumnya adalah sunnah muakkadah.
Waktu shalat 'led tersebut adalah sejak terbitnya matahari sampai tergelincirnya matahari (waktu zawal), demikian menurut mazhab Imamiyah dan Syafi'i.
Sedangkan menurut Mazhab Hambali: Waktunya adalah sejak naiknya matahari setombak (sampai waktu zawal)
Tentang khutbah pada shalat dua hari raya,
Imamiyah mengatakan kedua khutbah tersebut harus persis seperti khutbah Jum'at.
Sedangkan mazhab-mazhab lainnya mengatakan khutbah itu hanya sunnah.
Adapun tentang letak khutbah tersebut, semua sependapat bahwa waktunya adalah sesudah shalat, berbeda dengan khutbah Jum'at yang disampaikan sebelum shalat.
Mazhab Imamiyah dan Syafi'i menyatakan: Shalat pada kedua hari raya itu sah dikerjakan, baik sendiri maupun berjama'ah. Sedangkan mazhab-mazhab lainnya mewajibkan berjama'ah dalam shalat 'led itu
Tata cara shalat ‘Ied itu, menurut mazhab-mazhab tersebut adalah dua raka’at, dengan ketentuan sebagai berikut
Hanafi: Niat, kemudian mengucapkan takbiratul ihram, kemudian mengucapkan puji takbir tiga kali yang diselingi dengan diam sejenak sekedar bacaan tiga kali takbir, atau juga boleh mengucapkan "Subhanallah walhamdulillah wala Ilaha illallah wallahuakbar"
Kemudian membaca ‘Auzubillahi Minasyaithonirazim
Dan setelah itu membaca Al-Fatihah dan salah satu surat, lalu ruku' dan sujud. Pada rakaat kedua, mulai dengan membaca Al-Fatihah dan salah satu surat, kemudian mengucapkan takbir tiga kali, kemudian ruku' dan sujud, lalu menyempurnakan shalat hingga selesai.
Syafi'i: Mengucapkan takbiratul ihram, kemudian membaca doa iftitah, kemudian mengucapakan takbir tujuh kali yang antara tiap-tiap dua takbir itu diselingi ucapan: "Subhanallah walhamdulillah wala Ilaha illallah wallahuakbar", secara perlahan. Kemudian mengucapkan:
‘Auzubillahi Minasyaithonirazim
Yang dilanjutkan dengan membaca Al-Fatihah dan surat Qaf. Kemudian ruku' dan sujud. Ketika bangkit ke rakaat kedua, mengucapkan takbir yang kemudian ditambah dengan lima kali takbir lagi, yang antara dua takbir diselingi dengan ucapan: "Subhanallah walhamdulillah wala Ilaha illallah wallahuakbar"
Kemudian membaca Al-Fatihah dan surat Iqtarobat serta menyempurnakan shalat hingga selesai.
Hambali: Membaca doa iftitah, kemudian mengucapakan takbir enam kali, yang antara tiap-tiap dua takbir itu mengucapkan:
“Allahu Akbar kabira, walhamdulillahi kasira wasubhanallahi ibukratan wa asila, washalallahu ‘ala Muhammaddin wa ‘alihi wassalama tasliman”
Kemudian membaca: ‘Auzubillahi Minasyaithonirazim dan basmalah, lalu diteruskan dengan membaca Al-Fatihah dan surat Al-A'la (hingga selesai). Kemudian menyempurnakan rakaat pertama hingga selesai dan diteruskan dengan rakaat kedua. Pada rakaat kedua mengucapkan takbir lima kali selain dari ucapan takbir untuk bangkit ke rakaat kedua. Yang antara dap-tiap dua takbir tersebut diselingi dengan ucapan yang sama dengan apa yang dibaca pada rakaat pertama tadi. Kemudian mengucapkan basmalah diteruskan dengan membaca Al-Fatihah dan surah Al-Ghasyiyah, kemudian ruku' dan seterusnya hingga selesai shalat.
Maliki: mengucapkan takbiratul ihram, dilanjutkan dengan ucapan takbir enam kali, lalu membaca surat: Al-fatihah dan Surat Al-A'la, lalu ruku' dan sujud. Kemudian bangkit ke rakaat kedua sambil mengucapkan takbir, ditambah dengan lima takbir sesudahnya, lalu dilanjutkan dengan membaca surat Al-Fatihah dan surat Al-Syamsi atau yang sepertinya, kemudian menyempurnakan shalat hingga selesai.
Imamiyah: Mengucapkan takbiratul ihram, lalu membaca surat Al-Fatihah dan salah satu surat, kemudian mengucapkan takbir lima kali yang pada tiap-tiap satu takbir diselingi dengan doa qunut. Kemudian ruku' dan sujud. Ketika bangkit ke rakaat kedua, membaca Al-Fatihah dan salah satu surat, lalu mengucapkan takbir empat kali, yang diselingi dengan doa qunut pada tiap-tiap satu takbir. Kemudian ruku', dan menyempurnakan shalat sampai selesai.
End
BAB 23
SHALAT GERHANA MATAHARIDAN BULAN
Empat mazhab mengatakan: Shalat Gerhana matahari dan bulan ini hukumnya sunnah muakkadah, bukan wajib.
Imamiyah mengatakan: Hukumnya fardhu 'ain atas tiap-tiap mukallaf
Hanafi: Shalat Gerhana itu tidak mempunyai bentuk khusus, tetapi dikerjakan dua rakaat, seperti shalat-shalat sunnah lainnya. Satu qiyam (berdiri) dan satu ruku' untuk tiap-tiap rakaat. Dan boleh dikerjakan dua rakaat saja, dan boleh pula dikerjakan empat rakaat atau lebih.
Adapun bentuknya, menurut mazhab Hambali, Syafi'i dan Maliki adalah: dua rakaat, yang mana dalam tiap-tiap rakaat itu terdapat dua qiyam dan dua ruku'.
Pertama-tama mengucapkan takbir lalu mem-baca Al-Fatihah dan salah satu surat, kemudian ruku', berdiri lagi lalu membaca Al-Fatihah dan salah satu surat; kemudian ruku' sekali lagi dan sujud. Begitu juga pada rakaat kedua. Selanjutnya menyempurnakan shalat hingga selesai. Dan boleh juga mengerjakannya dua rakaat seperti shalat sunnah biasa.
Semua mazhab menganggap sah, apabila shalat Gerhana itu dikerjakan secara berjama'ah atau perorangan.
Hanya Hanafi mengecualikan shalat Gerhana bulan, mereka mengatakan bahwa shalat Gerhana bulan itu tidak dikerjakan secara berjama'ah, namun dikerjakan sendiri di rumah.
Adapun waktunya, semua mazhab telah sepakat bahwa waktu shalat Gerhana itu dimulai dari sejak munculnya Gerhana sampai sempurna lenyapnya, selain dari mazhab Maliki, mereka mengatakan bahwa waktu Gerhana itu dimulai dari sejak naiknya matahari setombak hingga waktu zawal (matahari tergelincir).
Hanafi dan Maliki mengatakan: Disunnahkan shalat dua rakaat ketika ketakutan terhadap bahaya gempa, petir, gelap, wabah, dan semua yang menakutkan.
Hambali mengatakan: Tidak disunnahkan kecuali gempa.
Semua mazhab sepakat: Shalat Gerhana tidak didahului oleh adzan dan iqamah, tetapi hanya diserukan: "Ash-Shalah",
Diulang tiga kali pada mazhab Imamiyah,
Dan Mazhab lain mengucapkan: "Ash-Shalah Jami'ah".
Imamiyah mengatakan: Gerhana matahari, gerhana bulan, gempa bumi, dan semua hal-hal yang menakutkan di langit seperti warna gelap yang pekat dan warna yang sangat merah, angin kencang dan suara gemuruh, semuanya ini menjadi sebab wajib ‘ain nya shalat.
Jika shalat Gerhana itu dikerjakan secara berjama'ah, maka dalam bacaan tertentu Imam menanggung Makmum, seperti shalat biasa sehari-hari.
Seperti dijelaskan di atas bahwa, waktu shalat Gerhana itu adalah sejak mulai terjadinya gerhana sampai lenyap. Bagi orang yang tidak dapat melakukannya tepat pada waktunya, ia boleh mengqadha'nya..
Sedangkan shalat yang disebabkan karena gempa bumi atau kejadian lainnya yang menakutkan, maka tidak ada waktu tertentu baginya. Tetapi hendaklah dikerjakan secara langsung begitu ada kejadian. Kalau tidak, maka boleh dikerjakan sepanjang masa.
Adapun tatacaranya adalah sebagai berikut: Mengucapkan takbiratul ihram, lalu membaca Al-Fatihah dan salah satu surat, kemudian ruku' lalu berdiri lagi, membaca al-Fatihah dan surat; kemudian ruku' lagi, demikian diulang sampai lima kali. Sesudah ruku' kelima, lalu sujud dua kali, kemudian bangkit lagi untuk melakukan rakaat kedua. Pada rakaat kedua ini, lakukanlah hal yang sama seperti pada rakaat pertama, yaitu: Membaca Al-Fatihah dan salah satu surat, lalu ruku', dan seterusnya sampai lima kali. Setelah itu sujud dua kali, membaca tasyahhud dan memberi salam. Seluruhnya ada sepuluh kali ruku', dua kali sujud sesudah ruku' kelima pada rakaat pertama, dan dua kali sujud sesudah ruku' kelima pada rakaat kedua.
end
BAB 25
SHALAT QADHA' (Shalat Pengganti)
Para ulama sepakat bahwa barang siapa ketinggalan shalat fardhu maka ia wajib menqadha'nya. Baik shalat itu ditinggalkannya dengan sengaja, lupa, tidak tahu maupun karena ketiduran. Sedangkan wanita haid dan nifas tidak wajib mengqadha’nya walaupun waktunya luas. Sebab kewajiban shalat gugur dari mereka. Mereka, jika tidak wajib mengerjakan secara tepat waktu maka tidak wajib pula mengerjakan secara qadha'. Dan terdapat perselisihan pendapat tentang kewajiban qadha' atas orang gila, pingsan dan orang mabuk.
Mazhab Hanafi mengatakan: Wajib qadha' atas orang yang hilang akalnya karena benda yang memabukkan yang diharamkan seperti arak dan seterusnya. Sedangkan orang yang hilang akal karena pingsan atau gila, maka kewajiban qadha' itu menjadi gugur dengan dua syarat:
Pertama: Pingsan atau gilanya itu berlangsung terus sampai lebih dari lima kali waktu shalat. Sedangkan kalau hanya lima kali shalat atau kurang dari itu, maka wajib qadha' atasnya.
Kedua: Tidak sadar selama masa pingsan atau gilanya itu pada waktu shalat: Kalau ia sadar dan belum shalat, maka wajib qadha' atasnya.
Maliki: Orang gila dan pingsan wajib qadha'. Sedangkan orang yang mabuk, apabila itu disebabkan oleh barang haram maka ia wajib qadha', dan jika disebabkan oleh barang halal, seperti orang yang minum susu asam lalu mabuk, maka tidak wajib qadha atasnya.
Hambali: Orang yang pingsan dan mabuk karena benda haram wajib qadha, sedangkan orang gila tidak wajib.
Syafi'i: Orang gila tidak wajib qadha apabila gilanya itu menghabiskan seluruh waktu shalat (dalam satu hari), begitu pula orang yang pingsan dan orang yang mabuk jika pingsan dan mabuknya itu bukan disebabkan oleh minuman keras yang diharamkan. Kalau tidak demikian maka wajib qadha atasnya.
Imamiyah: Orang yang mabuk karena minuman-minuman keras yang diharamkan, wajib qadha' secara mudak, baik ia meminumnya dengan sadar atau tidak sadar, terpaksa atau dipaksa. Sedangkan orang gila dan orang pingsan, tidak wajib qadha atas mereka.
Cara Mengqadha Shalat
Hanafi dan Imamiyah: Orang yang ketinggalan shalat fardhu, ia wajib mengqadha' sesuai dengan yang ditinggalkannya itu tanpa mengubah dan menggantinya. Misalnya: Seseorang terhutang shalat sempurna dan hendak mengqadha'nya, padahal ia berada dalam perjalanan, maka ia mengqadha'nya dengan sempurna pula. Dan orang yang terhutang shalat qashar, dan hendak mengqadha'nya, padahal ia tidak dalam perjalanan, maka ia menqadha'nya. dengan Qashar. Begitu pula dengan shalat Jahr (yang disuarakan dengan keras) atau shalat ikhfat (yang disuarakan pelan). Jika ia mengqadha' shalat Isya' dan Maghrib di waktu siang, maka hendaklah dilakukannya dengan suara Jahr, dan kalau ia mengqadha' shalat Dzuhur dan Ashar di waktu malam, maka hendaklah dilakukannya dengan suara ikhfat.
Hambali dan Syafi'i: Barang siapa hendak mengqadha' Shalat Qashar yang terhutang atasnya, maka kalau ia berada dalam perjalanan di qadha’nya dengan qashar sebagaimana yang ditinggalkannya. Sedangkan kalau ia tidak dalam perjalanan, maka shalat qashar itu wajib di qadha dengan sempurna. Ini berkaitan dengan jumlah rakaat, sedangkan yang berkaitan dengan sir (suara pelan) dan jahr (suara keras) maka Syafi'i mengatakan: Orang yang mengqadha' shalat Dzuhur di waktu malam, ia wajib melakukannya dengan suara jahr (keras), dan orang yang mengqadha' shalat Maghrib di waktu siang, ia wajib melakukannya dengan suara pelan.
Hambali mengatakan: Bacaan dalam shalat qadha' harus dengan suara pelan secara mutlak, baik shalat itu adalah shalat sir atau shalat jahr, baik diqadha'nya pada waktu malam atau pun di waktu siang, kecuali jika ia menjadi Imam dan shalat itu shalat Jahr, dan diqadha nya di waklu malam.
Para ulama sepakat selain para ulama Syafi'i atas wajibnya tertib dalam melakukan qadha' shalat-shalat yang tertinggal. Shalat yang terdahulu harus di-qadha' lebih dahulu dari pada yang belakangan. Kalau ia tertinggal shalat Magrib dan Isya', maka ia harus meng-qadha' shalat Maghrib lebih dahulu, baru Isya', seperti halnya dalaa shalat pada waktunya.
Syafi'i mengatakan: Tertib antara shalat yang tertinggal itu hukumnya sunnah, bukan wajib. Orang yang mengqadha' shalat Isya lebih dahulu, kemudian baru melakukan shalat Maghrib, shalatnya tetap sah.
Perwakilan Dalam Ibadah
Seluruh ulama sepakat bahwa mewakili orang dalam puasa dan shalat dari orang yang hidup tidak sah sama sekali, baik orang yang diwakili itu mampu (melakukan ibadah tadi) ataupun tidak mampu.
Imamiyah mengatakan: Sah mewakili orang yang sudah meninggal dalam ibadah puasa dan shalat.
Empat mazhab mengatakan: Tidak sah menggantikannya orang yang sudah meninggal sebagaimana tidak sah menggantikan orang hidup.
Empat mazhab sepakat: Mewakili orang lain dalam ibadah haji dari orang yang hidup hukumnya ja'iz (boleh), apabila orang yang diwakili itu tidak mampu melaksanakannya sendiri. Dan boleh pula mewakili orang yang sudah meninggal, selain dari ulama Maliki, mereka mengatakan: Tidak ada atsar (hadis) bagi perwakilan dari orang hidup dan tidak juga dari orang yang sudah meninggal.
Imamiyah dalam hal ini mempunyai pendapat sendiri, berbeda dari mazhab-mazhab lainnya, yaitu: Mereka mewajibkan atas seorang anak mengqadha' shalat dan puasa yang ditinggalkan oleh ayah mereka, tetapi ia antara mereka sendiri terdapat perselisihan pendapat, ada yang mengatakan bahwa si anak tadi wajib mengqadha' semua yang ditinggalkan oleh ayahnya sekalipun dengan sengaja. Dan ada pula yang mengatakan, si anak hanya wajib menqadha apa-apa yang ditinggalkan oleh ayahnya yang disebabkan oleh halangan sakit atau yang sejenisnya. Dan yang lain mengatakan, si anak tidak wajib mengqadha' apa-apa yang ditinggalkan oleh ayahnya kecuali yang ditinggalkannya dalam sakit yang membawa kematiannya. Dan sebagian mereka mengatakan, si anak wajib pula mengqadha' apa-apa yang ditinggalkannya oleh ibunya, sebagaimana ia wajib meng-qadha’' apa-apa yang ditinggalkan oleh ayahnya tersebut.
end
BAB 26
SHALAT BERJAMA’AH
Seluruh kaum Muslimin telah sepakat bahwa shalat berjama'ah itu termasuk salah satu syiar agama Islam. la telah dikerjakan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa 'Alihi wa Sallam secara rutin, dan diikuti oleh para Khalifah sesudahnya. Hanya ulama berselisih pendapat dalam hal: Apakah hukumnya wajib atau sunnah mustahabah (Sunnah yang dianjurkan)?
Hambali mengatakan: Shalat berjama'ah itu hukumnya wajib atas setiap individu yang mampu melaksanakannya. Tetapi kalau ditinggalkan dan ia shalat sendiri, maka ia berdosa, sedangkan shalatnya tetap sah.
Imamiyah, Hanafi dan sebagian besar ulama Syafi'i mengatakan:
Hukumnya tidak wajib, baik fardhu'ain atau kifayah, tetapi hanya disunnahkan dengan sunnah muakkadah.
Imamiyah mengatakan: Shalat berjama'ah itu dilakukan dalam shalat-shalat yang fardhu, tidak dalam shalat sunnah kecuali dalam shalat Istisqa' dan shalat Dua Hari Raya saja.
Sedangkan empat mazhab lainnya mengatakan bahwa shalat berjama'ah dilakukan secara mutlak, baik dalam shalat fardhu maupun dalam shalat sunnah.
a. Syarat-Syarat Shalat Berjama'ah
Syarat-syarat sah shalat berjama'ah itu ada 11, yaitu:
1. Islam, menurut kesepakatan ulama.
2. Berakal, menurut kesepakatan ulama.
3. Adil, menurut mazhab Imamiyah, Maliki dan Hambali dalam salah satu dari dua
riwayat Imam Ahmad. Pihak Imamiyah mengambil dalil dari sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi wa 'Alihi wa Sallam yang artinya
“Wanita tidaklah mengimani kaum pria, dan orang durhaka tidaklah mengimani orang beriman ". Dan sesuai dengan ijma' Ahlul Bait bahwa Imam shalat itu menunjukkan kepemimpinan, sedangkan orang yang durhaka tidak pantas sama sekali untuk jabatan tersebut. Namun mereka mengatakan pula bahwa orang yang merasa percaya kepada seorang laki-laki lalu ia shalat di belakangnya (menjadi Makmum), kemudian ternyata orang itu adalah seorang yang fasik, maka dalam hal ini tidak wajib mengulangi shalatnya.
4. Laki-laki.
Wanita tidak sah menjadi Imam untuk laki-laki, dan sah apabila mengimami sesama kaum wanita, demikian menurut pendapat seluruh mazhab selain mazhab Maliki. Mereka mengatakan: Wanita tidak sah menjadi Imam walaupun untuk mengimami sesamanya.
5. Baligh.
Ini merupakan syarat pada mazhab Maliki, Hanafi dan Hambali. Sedangkan Syafi'i mengatakan: Sah iqtida' (mengikuti) dengan anak yang sudah mumayyiz (dapat membedakan baik dan buruk).
Imamiyah dalam hal ini mempunyai dua pandangan: Pertama, baligh itu merupakan syarat, dan kedua sah keimanan seseorang anak yang mumayyiz asalkan ia mendekati dewasa (hampir baligh).
6. Jumlah.
Seluruh ulama sepakat bahwa sekurang-kurangnya sah beijama'ah selain pada shalat Jum'at itu apabila jumlahnya dua orang, di mana salah satunya Imam.
7. Makmum tidak menempatkan dirinya di depan Imam.
Demikian menurut pendapat semua ulama kecuali pada Mazhab Maliki. Maliki mengatakan: Makmum tidak batal shalatnya walaupun ia berada di depan Imam.
8. Berkumpul dalam satu tempat tanpa penghalang.
Imamiyah mengatakan: Makmum tidak boleh berjauhan dengan Imam kecuali berhubungan dengan shaf. Dan dalam berjama'ah tidak boleh ada penghalang yang merintangi Makmum laki-laki untuk menyaksikan gerak-gerik Imam, atau melihat Makmum lainnya yang menyaksikan Imam, kecuali untuk kaum wanita, mereka boleh mengikuti Imam sekalipun ada penghalang, asalkan gerakan Imam tidak samar bagi mereka.
Syafi'i mengatakan: Tidak jadi soal apabila jarak antara Imam dan Makmum lebih dari tiga ratus hasta, dengan syarat tidak ada penghalang antara keduanya.
Hanafi mengatakan:Jika seseorang yang berada di rumahnya ikut Imam yang berada di masjid, kalau rumahnya itu bergandengan dengan masjid, yang hanya dipisahkan oleh dinding, maka shalatnya sah dengan syarat gerakan Imam tidak samar bagi si Makmum. Tetapi jika letak rumah itu berjauhan dengan masjid, misalnya dipisahkan oleh jalan atau sungai, maka iqtida' tidak sah.
Maliki mengatakan: Perbedaan tempat tidak menjadi penghalang sahnya iqtida . Jika antara Imam dan Makmum itu terdapat penghalang berupa jalan, sungai atau dinding, maka shalatnya tetap sah selama Makmum bisa mengikuti gerakan Imam dengan tepat.
9. Makmum harus berniat mengikuti Imam, Demikian kesepakatan seluruh ulama.
10. Shalat Makmum dan Imam harus sama.
Para ulama sepakat, tidak sah jika terdapat perbedaan antara dua shalat dalam niat rukun dan afalnya. (perbuatan-nya). Seperti shalat fardhu dan shalat jenazah atau shalat 'led.
Selain dari yang disebutkan ini, terdapat perselisihan.
Hanafi dan Maliki mengatakan: Orang yang shalat Dzuhur tidak sah bermakmum dengan orang yang shalat Ashar. Begitu juga orang yang shalat qadha tidak sah bermakmum dengan orang yang shalat pada waktunya, dan sebaliknya.
Imamiyah dan Syafi'i mengatakan: Semuanya itu sah.
Hambali mengatakan: Tidak sah shalat Dzuhur di belakang shalat Ashar, begitu pula sebaliknya. Dan sah shalat Dzuhur qadha' di belakang shalat Dzuhur ada'an (tepat waktu).
11. Bacaan yang sempurna.
Orang yang bacaanya baik (fasih) tidak boleh bermakmum kepada orang yang kurang baik bacaannya, demikian kesepakatan seluruh ulama. Jika orang yang baik bacaannya bermakmum kepada orang yang kurang baik bacaannya, maka shalatnya menjadi batal, demikian menurut seluruh ulama selain dari Hanafi, yang mengatakan: Shalat keduanya batal. Namun mereka mempunyai pendapat khusus terhadap orang yang ummi (yang tidak dapat membaca dan menulis), seorang yang ummi hendaknya mengikuti (bermakmum) kepada orang yang baik bacaannya, dan tidak diperbolehkan shalat sendiri, walaupun ia bisa menunaikan shalat sendiri atau berjama'ah dengan bacaan yang benar.
b. Hukum menjadi Makmum
Para ulama sepakat bahwa orang yang berwudhu boleh bermakmum dengan orang yang bertayammum, dan bahwa seorang makmum harus mengikuti imam dalam bacaan dan dzikir-dzikir, seperti: "Subhana Robbiyal 'Azhim", "Subhana Robbiyal A'la", dan "Sami'Allahu Liman Hamidah". Namun mereka berselisih pendapat dalam hal kewajiban Makmum untuk mengikuti bacaan Al-Fatihah Imam.
Syafi'i mengatakan: Makmum harus mengikuti Imam dalam shalat Sirriyah (shalat yang bacaannya perlahan) dan Jahriya (shalat yang bacaannya dikeraskan) dan ia wajib membaca Surat Al-Fatihah dalam setiap rakaat.
Hanafi mengatakan: Makmum tidak wajib mengikuti bacaan Imam baik dalam shalat Sirriyah maupun dalam shalat Jahriyah. Bahkan dinukil dari Imam Abu Hanifah bahwa bacaan Makmum di belakang Imam itu adalah maksiat. (An-Nawawi di dalam kitab Syarah Muhadzdzah, Jilid III, halaman 365).
Maliki mengatakan: Makmum wajib membaca di dalam shalat Sirriyah, dan tidak wajib dalam shalat Jahriyah.
Imamiyah mengatakan: Bacaan itu tidak wajib atas Makmum pada dua rakaat pertama, tetapi wajib pada rakaat ketiga dalam shalat Maghrib, dan pada dua rakaat terakhir pada shalat Isya', Dzuhur dan Ashar.
Semua mazhab sepakat tentang wajibnya Makmum mengikuti Imam dalam segala gerak-geriknya, namun mereka berselisih pendapat tentang tafsir "mengikuti" itu.
Imamiyah mengatakan: Makna "mengikuti" adalah: Perbuatan Makmum tidak mendahului Imam dan tidak pula mengakhiri nya terlalu lama, tetapi harus bersamaan atau mengakhirkannya sedikit.
Hanafi mengatakan: Makna "mengikuti" menjadi nyata dengai muqaranah (serta merta), dengan perbuatan Makmum yang lansung mengikuti perbuatan Imam, dan dengan ta'akhkhar (terlambat). Jadi, sekalipun Makmum ruku' sesudah Imam meng angkat kepalanya dari ruku' dan sebelum membungkuk untuk sujud, maka Makmum itu masih dianggap mengikuti Imam dalam ruku'.
Maliki mengatakan: Sesungguhnya makna "mengikuti" itu adalah bila perbuatan Makmum itu berlangsung sesudah perbuaatan Imam. la tidak boleh mendahului perbuatan Imam, menyertai atau menunda terlalu lama, di mana Makmum harus ruku' sebelum Imam mengangkat kepalanya dari ruku'.
Hambali mengatakan: Makna "mengikuti" itu adalah: Apabila Makmum tidak mendahului Imam dalam salah satu gerakan shalat, dan tidak pula mengakhirkannya, yaitu si Makmum tidak ruku sesudah Imam selesai ruku', dan Imam tidak menyelesaikan ruku' itu sebelum Makmum mulai ruku'.
c. Hukum Masbuq (Makmum yang Datang Terlambat)
Jika seseorang datang sesudah Imam mendirikan shalat, dan sudah melakukan satu rakaat atau lebih, maka seluruh ulama sepakat bahwa orang tersebut hendaklah berniat jama'ah dan meneruskan shalat bersama Imam.
Yang menjadi masalah, apakah itu permulaan shalat baginya atau akhir shalatnya?
Contoh: Seseorang shalat Maghrib berjama'ah, namun ia hanya mendapatkan rakaat terakhir bersama Imam, tersisa dua rakaat lagi yang harus dikerjakannya sendiri. Pertanyaan di sini adalah, apakah rakaat terakhir yang dikerjakannya bersama Imam itu menjadi rakaat ketiga bagi si Makmum, sebagaimana rakaat ketiga bagi si Imam, dan dua rakaat yang tersisa adalah rakaat pertama dan kedua. Atau, rakaat terakhir yang didapatkannya bersama Imam tadi merupakan rakaat pertama baginya, kemudian ia lanjutkan dengan rakaat kedua dan ketiga?
Dalam hal ini, mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali mengatakan: Rakaat yang didapatkan oleh Makmum bersama Imam itu menjadi akhir rakaat bagi shalat si Makmum. Jika ia mendapatkan rakat ketiga dalam shalat Maghrib bersama Imam, maka itu dianggap sebagai rakaat ketiga juga untuk shalatnya. Kemudian ia melanjutkan dengan satu rakaat yang di dalamnya ia baca Al-Fatihah, surat dan tasyahhud, kemudian satu rakaat lagi yang di dalamnya ia baca Al-Fatihah dan surat. Orang yang melakukannya shalat seperti ini, yaitu mendahulukan rakaat ketiga dari rakaat pertama dan kedua. Apa yang dikerjakannya bersama Imam adalah akhir shalatnya, dan yang dikerjakannya sesudah Imam adalah permulaan shalatnya
Syafi'i dan Imamiyah mengatakan: Rakaat yang didapatkan Makmum bersama Imam dianggap awal shalatnya, bukan akhirnya. Jadi kalau ia mendapatkan satu rakaat pada shalat Maghrib bersama Imam, maka itu dianggap sebagai rakaat pertama baginya, lalu ia meneruskannya dengan rakaat kedua dan membaca ta-syahhud sesudahnya, kemudian diteruskan dengan rakaat ketiga yang menjadi rakaat terakhir baginya.
d. Orang Yang Lebih Pintar Menjadi Imam
Hanafi mengatakan: Apabila berkumpul beberapa orang untuk mengerjakan shalat berjama'ah, maka didahulukan orang yang lebih berilmu dalam hukum agama untuk menjadi imam, kemudian orang yang lebih baik bacaannya, kemudian orang yang lebih wara’, kemudian orang yang lebih dahulu masuk Islam, kemudian orang yang lebih tua usianya, kemudian orang yang lebih baik akhlaknya, kemudian orang yang lebih bagus wajahnya kemudian orang yang lebih mulia nasab-nya., kemudian orang yang lebih bersih pakaiannya. Dan kalau semua sama dalam sifat-sifat yang disebutkan tadi, maka hendaklah diundi di antara mereka.
Maliki mengatakan: Sultan atau wakilnya harus didahulukan, kemudian baru Imam masjid dan tuan rumah, kemudian orang yang lebih mengetahui tentang hukum shalat, kemudian orang yang lebih mengetahui tentang ilmu hadis, kemudian orang yang lebih adil, kemudian orang yang lebih baik bacaannya, kemudian orang yang lebih taat beribadah, kemudian orang yang lebih dahulu masuk Islam, kemudian orang yang lebih mulia nasab-nya, kemudian yang lebih baik akhlaknya, kemudian yang lebih baik pakaiannya. Dan jika mereka semua sama dalam sifat-sifat yang disebutkan ini, maka harus diundi di antara mereka.
Hambali mengatakan: Orang yang lebih mengerti hukum agama, dan lebih baik bacaannya harus didahulukan menjadi Imam, kemudian orang yang lebih baik bacaannya saja, kemudian orang yang lebih paham hukum-hukum shalat, kemudian orang yang lebih baik bacaan tetapi tidak tahu hukum shalatnya, kemudian yang lebih dahulu hijrah, kemudian yang lebih takwa, kemudian yang lebih wara', dan kalau semuanya sama, hendaklah diundi.
Imamiyah mengatakan: Jika masing-masing orang ingin menjadi Imam karena menginginkan pahala imamah, bukan dengan tujuan keduniaan, maka orang yang dipilih oleh Makmurn itulah yang berhak menjadi Imam karena kelebihan pengetahuan agama-nya dan bukan karena tujuan keduniaan. Jika mereka berselisih, maka yang lebih utama adalah mendahulukan faqih (ahli ilmu fiqh), kemudian orang yang lebih baik bacaannya, kemudian yang lebih tua usianya, kemudian orang yang lebih baik kedudukannya menurut syara'.
end
BAB 28
HAL-HAL YANG MEMBATALKAN SHALAT
Hal-hal yang bisa membatalkan shalat adalah:
1. Bercakap-cakap, sekurang-kurangnya terdiri dari dua huruf, walaupun tidak mempunyai arti. Begitu juga satu huruf yang mempunyai arti, seperti "qi", kata kerja perintah dari "waqa" (menjaga). Tetapi kalau satu huruf tadi tidak mempunyai arti, maka tidak membatalkan. Begitu juga suara yang terdiri dari beberapa huruf tanpa maksud tertentu.
Mazhab Hanafi dan Hambali tidak membedakan hukum batal shalat karena berbicara ini, baik pembicaraan itu disengaja atau karena lupa, keduanya dianggap batal.
Sedangkan Imamiyah, Syafi'i dan Maliki mengatakan: Shalat tidak batal oleh perkataan yang diucapkan karena lupa, kalau hanya sedikit. Sekiranya bentuk shalat itu tetap terpelihara.
Dan shalat tidak batal karena berdehem, baik dengan suatu maksud atau tidak, demikian menurut mazhab Imamiyah dan Maliki.
Sedangkan menurut mazhab lainnya: Batal kalau tanpa maksud, dan tidak batal kalau karena maksud. Seperti membaguskan suara hingga keluar huruf dari makhraj-nya, atau untuk menunjukkan Imam kepada yang benar.
Mereka semua sepakat bahwa boleh berdoa di tengah-tengah shalat guna memohon kebaikan atau ampunan dari Allah SWT,
Kecuali pendapat dalam mazhab Hanafi dan Hambali, mereka mengkaitkan doa seperti ini dengan apa-apa yang diwartakan dalam Al-Qur'an dan Al-Sunnah, atau dengan suatu doa permohonan yang hanya pantas dimohonkan kepada Allah saja, seperti memohon rejeki atau keberkahan. Dan tidak termasuk perkataan yang membatalkan, kalimat tasbih yang dipakai orang untuk memberitahukan bahwa ia sedang shalat, atau untuk menunjukkan kepada Imam yang keliru dalam bacaannya.
Empat mazhab mengatakan: Termasuk perkataan yang membatalkan itu adalah membalas ucapan salam seseorang. Kalau, seseorang sedang shalat atau ada orang memberi salam kepadanya dan salam orang itu dibalasnya dengan lisannya, maka shalatnya menjadi batal, dan tidak batal kalau hanya dengan isyarat.
Imamiyah mengatakan: Seseorang yang sedang shalat wajib membalas ucapan salam yang sama kalau sighat-nya adalah salam, bukan selamat pagi atau sejenisnya. Dan mereka mensyaratkan agar ucapan salam itu harus sama, tanpa perubahan. Jawaban bagi ucapan "Salamu 'Alaikum" harus tanpa alif-lam juga, sedangkan jawaban bagi ucapan "Assalamu'Alaikum" harus dengan aliflam.
2. Setiap perbuatan yang menghapuskan bentuk shalat, maka ini hukumnya membatalkan shalat, sekiranya bila dilihat orang seakan-akan bukan dalam shalat.
Ini syarat yang disepakatai oleh semua mazhab.
3. Makan dan minum.
Ini telah disepakati oleh seluruh ulama, hanya mereka berselisih dalam hal kadar yang membatalkan.
Imamiyah mengatakan: Semua makanan dan minuman bisa membatalkan shalat jika menghilangkan bentuk shalat itu, atau menghilangkan salah satu syarat shalat, seperti kesinambungannya dan lain-lain yang serupa.
Hanafi mengatakan bahwa setiap makan makanan dan minum minuman membatalkan shalat, banyak atau sedikit, walaupun yang dimakan itu hanyalah sebiji kismis, dan yang diminum itu seteguk air, dan tidak ada perbedaan, karena sengaja atau lupa.
Syafi'i mengatakan: Semua makanan dan minuman yang sampai ke dalam rongga perut orang yang shalat, maka hukumnya membatalkan shalat, baik sedikit maupun banyak. Hal ini bila orang yang shalat itu melakukannya dengan sengaja dan mengetahui akan keharamannya. Kalau ia tidak tahu atau lupa, maka tidak membatalkan kalau hanya sedikit, tetapi membatalkan kalau banyak.
Hambali mengatakan: Kalau makanan atau minuman itu banyak, maka hukumnya membatalkan shalat, baik sengaja atau karena lupa. Dan kalau makanan dan minuman itu sedikit, hukumnya membatalkan kalau disengaja, dan tidak membatalkan kalau karena lupa.
4. Apabila datang sesuatu yang membatalkan wudhu atau mand baik dari hadas besar maupun kecil.
Hal tersebut membatalkan. shalat menurut pendapat seluruh mazhab selain mazhab Hanafi
Mereka mengatakan: Shalat batal jika perkara tersebut terjadi sebelum duduk terakhir sekadar bacaan tasyahhud. Kalau terjadi sesudahnya dan sebelum salam, maka shalatnya tidak batal.
5. Tertawa terbahak-bahak juga membatalkan shalat, demikian menurut kesepakatan ulama, selain dari mazhab Hanafi. Mereka berkata: Hukumnya sama dengan hukum hadas seperti diuraikan di atas (no.4).
Karena hal-hal yang membatalkan shalat itu sangat perlu diketahui, sedangkan ia banyak dan bercabang-cabang, setiap mazhab mempunyai pandangan yang terkadang disepakati bersama dan ada pula yang masih diperselisihkan dengan mazhab lain-nya, oleh karena itu kami memandang perlu untuk menjelaskan pendapat masing-masing itu sebagai berikut:
a. MAZHAB SYAFI'I
Hal-hal yang membatalkan shalat menurut mazhab Syafi'i adalah:
Karena hadas yang mewajibkan wudhu atau mandi.
Sengaja berbicara.
Menangis.
Merintih dalam sebagian keadaan.
Banyak bergerak.
Ragu-ragu dalam niat.
Bimbang dalam memutuskan shalat namun meneruskannya.
Menukar niat satu shalat fardhu dengan shalat fardhu yang lain. (menukar niat dengan shalat sunnah dibolehkan jika ia bermaksud hendak menunaikan shalat fardhu secara berjama'ah)
Terbuka aurat, sedangkan ia mampu menutupnya.
Telanjang, sedangkan ia memiliki pakaian untuk menutupi auratnya.
Kena najis yang tidak dimaafkan, kalau ddak segera dibuang.
Mengulang-ulang takbiratul ihram.
Meninggalkan rukun dengan sengaja.
Mengikuti Imam yang tidak patut diikuti karena kekufurannya atau sebab lain.
Menambah rukun dengan sengaja.
Masuknya makanan atau minuman ke dalam rongga mulut
Berpaling dari Kiblat dengan dadanya.
Mendahulukan rukun fi'li dari yang lainnya.
b. MAZHAB MALIKI
Yang membatalkan shalat menurut mazhab Maliki adalah:
Meninggalkan salah satu rukun dengan sengaja atau lupa jika tidak teringat hingga memberi salam dalam keadaan yakin telah melakukannya dengan sempurna, dan telah lama diketahuinya.
Menambah rukun dengan sengaja, seperti ruku' dan sujud.
Menambah tasyahhud bukan pada tempatnya, kecuali bila dibaca dalam keadaan duduk.
Tertawa terbahak-bahak baik dengan sengaja maupun tidak.
Makan minum dengan sengaja.
Berbicara dengan sengaja, bukan untuk memperbaiki bacaannya.
Meniup dengan mulut dengan sengaja.
Muntah dengan sengaja.
Terjadi sesuatu yang membatalkan wudhu seperti keluar angin atau lainnya.
Terbuka aurat atau sesuatu darinya.
Kena najis.
Banyak bergerak.
Menambah rakaat melebihi dari empat rakaat pada shalat ruba'iyah dengan yakin atau lupa.
Sujud sebelum salam.
Meninggalkan tiga sunnah dari sunnah-sunnah shalat karena lupa, dan tidak melakukan sujud sahwi untuknya.
c. MAZHAB HAMBALI
Yang membatalkan shalat menurut mazhab Hambali adalah:
Banyak bergerak.
Kena najis yang tidak dimaafkan.
Membelakangi Kiblat.
Terjadi sesuatu yang membatalkan wudhu, seperti keluar angin atau lainnya.
Sengaja membuka aurat.
Bersandar dengan kuat tanpa alasan.
Kembali ke tasyahhud pertama sesudah mulai membaca Al-Fatihah jika ia mengetahui dan ingat.
Menambahkan rukun dengan sengaja.
Mendahulukan sebagian rukun dari rukun lainnya dengan sengaja.
Keliru dalam bacaan yang merubah arti bacaan itu, padahal ia mampu memperbaikinya.
Berniat memutuskan shalat, atau bimbang dalam hal itu.
Ragu-ragu dalam takbiratul ihram.
Tertawa terbahak-bahak.
Berbicara baik dengan sengaja atau tidak.
Makmum memberi salam dengan sengaja sebelum Imam.
Makan minum karena lupa atau tidak tahu.
Berdehem tanpa alasan.
Meniup dengan mulut, kalau keluar dua huruf.
Menangis bukan karena takut kepada Allah.
d. MAZHAB HANAFI
Yang membatalkan shalat menurut mazhab Hanafi adalah:
Berbicara dengan sengaja, lupa, tidak tahu hukumnya, atau karena keliru.
Membaca doa yang mirip dengan ucapan manusia.
Banyak bergerak.
Memalingkan dada dari Kiblat
Makan dan minum.
Berdehem tanpa alasan.
Menggerutu.
Merintih.
Mengaduh.
Menangis dengan suara keras.
Membalas ucapan orang yang bersin.
Mengucapkan kalimat "Inna lillah", ketika mendengar berita buruk.
Mengucapkan kalimat "Alhamdulillah" ketika mendengar berita menyenangkan.
Mengucapkan kalimat "Subhanallah" atau "La Ilaha illa-llah" karena heran.
Orang yang shalat dengan tayammum lalu melihat air.
Terbit matahari ketika sedang mengerjakan shalat Shubuh.
Matahari tergelincir ketika sedang mengerjakan shalat 'led.
Jatuhnya pembalut luka yang belum sembuh.
Berhadas dengan sengaja. Kalau didahului oleh hadas (dengan tidak sengaja) maka shalatnya tidak batal, tetapi harus berwudhu, dan kemudian meneruskan shalatnya.
e. MAZHAB IMAMIYAH
Yang membatalkan shalat menurut rnazhab Imamiyah adalah:
Riya’ (Minta dipuji)
Ragu-ragu dalam niat.
Niat memutuskan shalat. Dalam hal ini, adalah jika dilakukan sesuatu af’al shalat.
Berpindah dari shalat terdahulu kepada shalat kemudian. Seperti orang yang berpindah dari shalat Dzuhur kepada shalat Ashar. Tetapi kalau berpindah dari shalat Ashar kepada shalat Dzuhur maka tidak apa-apa. Misalnya, seseorang membayangkan bahwa ia telah mengerjakan shalat Dzuhur, ia lalu berniat shalat Ashar. Kemudian di tengah-tengah shalatnya ia ingat bahwa sebenarnya ia belum mengerjakan shalat Dzuhur, maka dibolehkan baginya berpindah kepada shalat Dzuhur. Dan dibolehkan juga berpindah dari shalat berjama'ah kepada shalat infirad (sendiri) dan tidak sebaliknya. Dan dibolehkan bagi orang yang sedang mengerjakan shalat fardhu sendiri untuk merubah shalatnya itu menjadi shalat sunnah karena ingin melakukan shalat fardhu berjama'ah.
Menambah Takbiratul ihram. Misalnya seseorang sudah rnengucapkan takbiratul ihram, kemudian mengucapkan sekali lagi, maka shalatnya batal, sehingga perlu mengucapkan takbiratul ihram yang ketiga. Dan kalau ia mengucapkan takbiratul ihram keempat, maka shalatnya batal, sehingga perlu mengucapkan takbiratul ihram kelima. Demikian seterusnya, shalat menjadi batal dengan tambahan takbiratul ihram secara genap, karena menambah rukun dan sah secara ganjil.
Kena najis yang tidak dimaafkan dan tidak bisa hilang' kecuali dengan banyak gerakan, sehingga menghilangkan bentuk shalat.
Kalau seseorang bertayammum karena ketiadaan air, kemudian ia shalat. Di tengah-tengah shalatnya, ia mendapatkan air maka batallah tayammum dan shalatnya sekaligus, kalau air itu ia dapatkan sebelum ruku' pada raka'at pertama, namun jika didapatkan sesudahnya maka shalatnya tetap sah.
Kehilangan sebagian syarat shalat, seperti menutup aurat dan kebersihan tempat shalat.
Berhadas.
Sengaja menoleh dengan seluruh badan ke arah belakang atau ke arah kanan, atau ke arah kiri, atau antara keduanya sekitarnya keluar dari arah Kiblat.
Sengaja berbicara atau menangis karena urusan dunia.
Tertawa terbahak-bahak.
Melakukan perbuatan yang menghapuskan bentuk shalat.
Makan dan minum.
Menambahi atau mengurangi sesuatu bagian shalat dengan sengaja.
Meninggalkan salah satu rukun yang lima dengan sengaja atau lupa. Yang termasuk rukun yang lima ilu ialah: Niat, takbiratul ihram, berdiri, ruku' dan dua sujud pada satu rakaat.
Hukum Berjalan Di hadapan Orang Yang Sedang Shalat
Seluruh ulama sepakat bahwa berjalan di hadapan orang yang sedang shalat itu tidak membatalkan shalat, namun mereka berselisih dalam hal haramnya
Imamiyah mengatakan: Berjalan di hadapan orang shalat itu tidak haram atas orang yang lewat ataupun atas orang yang shalat
Hanya disunnahkan bagi orang yang melakukan shalat untuk meletakkan sesuatu di hadapannya, jika di hadapannya tidak ada penghalang yang merintangi orang yang lalu lalang. Penghalang itu bisa berupa sepotong ranting, tali atau setumpuk tanah, yang diletakkan oleh orang yang shalat itu di hadapannya, sebagai isyarat mengagungkan shalat, memutuskan segala hadapan dengan makhluk dan mencurahkan segenap pikiran kepada Allah SWT.
Maliki, Hanafi dan Hambali mengatakan: Lewat di hadapan orang yang sedang shalat itu hukumnya haram, baik di hadapan orang yang shalat itu ada penghalang atau tidak.
Bahkan Hanafi dan Maliki mengatakan: Diharamkan atas orang yang shalat untuk mengerjakan shalatnya, dimana di hadapannya merupakan tempat lalu lalang orang ramai, seandainya ia bisa memilih tempat lainnya yang lebih baik.
Sedangkan Syafi'i mengatakan: Lewat di hadapan orang yang sedang shalat hukumnya haram apabila orang yang sedang shalat itu tidak meletakkan penghalang. Kalau ada penghalang, maka tidak haram dan tidak makruh.
end
BAB 29
PUASA
Berpuasa pada bulan Ramadhan merupakan salah satu rukun dari beberapa rukun agama. Kewajiban melaksanakannya tidak membutuhkan dalil, dan orang yang mengingkarinya berarti telah keluar dari Islam, karena ia seperti shalat, yaitu ditetapkan dengan keharusan. Dan ketetapan itu diketahui baik oleh yang bodoh maupun orang yang ‘alim dewasa maupun yang anak-anak.
Puasa mulai diwajibkan pada bulan Sya'ban tahun kedua Hijriyah. Puasa merupakan fardhu 'ain' bagi setiap mukallaf, dan tak seorang pun dibolehkan berbuka, kecuali mempunyai sebab-sebab seperti berikut:
1. Haid dan Nifas: Para ulama sepakat, bahwa bila seorang wanita haid atau nifas, puasanya tidak sah.
2. Sakit: Dalam hal ini ulama mazhab berbeda pendapat:
Imamiyah: Seorang yang ditimpa suatu penyakit tidak boleh berpuasa, begitu pula jika akan mengakibatkan penyakitnya bertambah parah, atau akan memperlambat kesembuhan, karena sakit itu berbahaya, dan yang membahayakan diharamkan. Melakukan ibadah itu dilarang bila menimbulkan bahaya bagi dirinya, dan bila terpaksa berpuasa dalam keadaan sakit, maka puasanya tidak sah. Untuk mengetahui apakah ia (orang yang berpuasa) itu sakit, atau penyakitnya akan bertambah, cukup baginya mempergunakan perkiraan sendiri.
Kalau dirinya sangat lemah, bukan menjadi sebab dibolehkannya berbuka, selama kelemahan itu sudah biasa bagi dirinya, karena yang menjadi sebab diharuskannya (kewajibannya) berbuka adalah sakit itu sendiri, bukan kelemahan, keletihan dan kelelahan. Bagaimana beban itu harus ditanggung, sedangkan didalamnya mengandung kesukaran?
Empat mazhab: Kalau orang yang berpuasa itu sakit, dan ia khawatir dengan berpuasa itu akan menambah penyakitnya, atau memperlambat kesembuhannya, maka bila suka berpuasalah, dan bila tidak, berbukalah, tetapi tidak ada ketentuan (keharusan) berbuka baginya, karena berbuka itu merupakan rukhshah (ke-ringanan), bukan keharusan bagi orang yang berada dalam keadaan sakit. Tetapi kalau menurut perkiraannya sendiri bahwa dengan berpuasa itu akan menimbulkan bahaya, atau akan membahayakan salah satu anggota inderanya (tubuhnya), maka dia harus berbuka, dan bila terus berpuasa, puasanya tidak sah.
3. Wanita hamil yang hampir melahirkan, dan wanita yang sedang menyusui.
Empat Mazhab: Kalau wanita yang menyusui atau yang hamil khawatir pada dirinya atau pada anaknya, maka sah puasanya, namun boleh baginya untuk berbuka. Tetapi bila dia berbuka maka dia harus mengqadha' (mengantinya).
Begitulah ketetapan mereka secara sepakat. Namun dalam persoalan fidyah (kifarah) mereka berbeda pendapat.
Hanafi: Tidak diwajibkan secara mutlak.
Maliki: Hanya diwajibkan bagi wanita yang menyusui, bukan yang hamil.
Hambali dan Syafi'i: Setiap wanita yang hamil dan menyusui wajib membayar fidyah, bila hanya khawatir bagi anaknya saja, tetapi bila khawatir terhadap dirinya dan anaknya secara bersamaan, maka dia harus meng-qadha' (menggantinya), tanpa membayar fidyah. Membayar fidyah adalah mengeluarkan satu mud (sama dengan 800 gram gandum atau sejenisnya) setiap hari, dan setiap mud diberikannya kepada satu orang miskin.
Imamiyah: Kalau wanita hamil yang saat kelahirannya sudah dekat dan membahayakan dirinya bila berpuasa, atau membahayakan anak yang sedang disusuinya, maka dia harus berbuka dan tidak boleh berpuasa, karena yang membahayakan itu diharamkan. Mereka bersepakat bahwa bagi wanita yang khawatir membahayakan anaknya harus menqadha' (menggantinya) dan membayar fidyah satu mud. Tetapi kalau khawatir membahayakan dirinya, mereka berbeda pendapat, sebagian harus mengqadha' (menggantinya) dan tidak usah membayar fidyah; dan yang lain harus mengqadha' dan membayar fidyah.
4. Perjalanan yang sesuai dengan syarat-syarat yang dibolehkan melakukan shalat qashar, seperti yang telah dibicarakan oleh setiap mazhab, tetapi empat mazhab menambahkan satu syarat lagi, yaitu: Perjalanan itu harus berangkat sebelum terbitnya fajar, sampai menempuh jarak dibolehkannya melakukan shalat qashar. Namun bila perjalanan itu berangkat setelah terbitnya fajar, maka diharamkan untuk berbuka. Dan kalau berbuka, maka ia harus mengqadha' (menggantinya) tapi tidak perlu membayar kifarah.
Syafi’i menambahkan satu syarat lagi, yaitu: Bukan seorang musafir yang sudah biasa melakukan perjalanan, seperti seorang yang mencari penyewa. Kalau bagi orang yang kerjanya memang selalu mengadakan perjalanan, ia tidak mempunyai hak untuk berbuka. Berbuka dalam perjalanan menurut mereka adalah rukhshah (keringanan), bukan keharusan. Maka bagi seorang musafir juga memenuhi syarat-syarat tersebut, ia berhak memilih. Kalau suka, boleh berpuasa, dan kalau tidak, boleh dibuka.
Hanya kita harus mengetahui bahwa Hanafi mempunyai pendapat lain, yaitu: Bahwa shalat qashar dalam perjalanan itu merupakan suatu keharusan bukan merupakan rukhshah.
Imamiyah: Kalau seorang musafir yang sudah memenuhi syarat-syarat melakukan shalat qashar, lalu ia berpuasa, maka puasanya tidak diterima, dan kalau berpuasa itu harus mengqadha', tapi tidak perlu membayar kifarah. Ketetapan ini berlaku, kalau perjalanan itu berangkat sebelum matahari tergelincir (condong ke Barat), tetapi kalau berangkat waktu zawal (matahari tergelincir) atau sesudahnya, maka dia harus tetap berpuasa, dan kalau berbuka, dia harus membayar kifarah, seperti seorang yang sengaja membuka. Bila seorang musafir telah sampai ke daerahnya atau ke tempat tinggalnya yang akan ditempatinya selama sepuluh hari sebelum zawal, dan tidak melakukan sesuatu yang membatalkan puasanya, maka ia wajib meneruskan puasanya, dan bila berbuka, maka hukumnya seperti seorang yang berbuka dengan sengaja, yaitu membayar kifarah.
5. Semua ulama mazhab sepakat bahwa bagi orang yang mempunyai penyakit sangat kehausan boleh berbuka, dan kalau ia kuat mengqadha'nya (menggantinya) di kemudian hari, maka ia wajib menggantinya, tetapi tidak perlu membayar fidyah,
Menurut empat mazhab,
Tetapi bagi Imamiyah wajib membayar kifarah satu mud.
Kalau sangat lapar mereka berbeda pendapat, apakah ia termasuk salah satu yang dibolehkan berbuka, seperti rasa haus?
Empat mazhab: Lapar dan haus itu sama saja, semuanya sama-sama dapat membolehkan berbuka.
Imamiyah: kelaparan itu ddak membolehkan berbuka, kecuali kalau dapat mendatangkan penyakit atau menyebab jatuh sakit.
6. Orang tua renta, baik lelaki maupun wanita, yang mendapatkan kesulitan dan kesukaran, serta tdak kuat lagi berpuasa, dia mendapat rukhshah (keringanan) untuk berbuka, hanya harus membayar fidyah setiap hari dengan memberikan rnakanan pada orang miskin.
Begitu juga orang sakit yaug tidak ada harapan sembuh sepanjang tahun. Hukum ini disepakati oleh semua ulama Mazhab.
Kecuali Hambali, ia berpendapat, bahwa bagi orang tua renta dan orang sakit tersebut, hanya disunnahkan untuk membayar fidyah, tidak diwajibkan.
Imamiyah: Orang yang pingsan, tidak diwajibkan berpuasa, sekalipun ia memperoleh (mengetahui) sebagian dari siang, kecuali kalau ia telah berniat berpuasa sebelum pingsan, kemudian sadar, maka harus tetap manahan (makan dan minum serta hal-hal lain yang membatalkan puasa).
Hilangnya Udzur
Kalau udzurnya yang membolehkan berbuka itu hilang, seperti orang sakit yang telah sembuh, anak kecil yang sudah baligh, seorang musafir yang telah selesai menempuh perjalanannya, alau wanita haid yang sudah suci, maka semuanya itu disunnahkan untuk menahan diri, untuk menghormati etika pergaulan, menurut Imamiyah dan Syafi'i.
Tetapi menurut Hanafi dan Hambali adalah wajib.
Tetapi menurut Maliki tidak wajib dan tidak pula disunnahkan.
Syarat-syarat Puasa
Kita telah menjelaskan di atas, bahwa puasa Ramadhan itu wajib 'ain bagi setiap mukallaf. Dan yang dinamakan mukallaf itu adalah orang yang sudah baligh dan berakal. Maka puasa tidak diwajibkan bagi orang gila ketika sedang gila, dan kalau dia berpuasa, puasanya tidak sah. Anak kecil tidak diwajibkan untuk berpuasa, tetapi puasanya tetap sah, kalau dia sudah mumayyiz. Dan tidak boleh tidak, bahwa syarat sahnya puasa adalah beragama Islam dan disertai niat, sebagaimana dalam ibadah ibadah lainnya. Maka bagi mereka yang bukan Islam, puasanya tidak diterima, begitu juga kalau menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasanya tanpa niat, menurut kesepakatan semua mazhab. Ini ditambah (dengan syarat-syarat lain), yaitu suci dari haid, nifas, tidak sakit dan tidak berada dalam perjalanan, se-bagaimana yang telah dijelaskan di muka.
Bagi orang yang mabuk dan pingsan, menurut Syafi'i: Kalau perasaan orang yang mabuk dan pingsan tersebut hilang sepanjang waktu berpuasa, maka puasanya tidak sah, tetapi kalau hanya sebagian waktu saja, maka puasanya sah, namun bagi orang yang pingsan wajib menqadha' (menggantinya) secara mutlak, baik. pingsannya itu ' disebabkan oleh dirinya, ataupun karena dipaksa. Tetapi bagi orang yang mabuk, tidak wajib mengqadha'nya, kecuali kalau mabuknya itu disebabkan oleh dirinya secara khusus.
Maliki: Orang yang mabuk dan pingsan mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari, atau tidak sadar dari sebagian besar waktunya berpuasa, maka puasanya tidak sah. Tetapi kalau tidak sadar hanya setengah hari, atau lebih sedikit dan mereka sadar pada waktu niat, dan berniat, kemudian jatuh mabuk dan pingsan, maka mereka tidak diwajibkan mengqadha'-nya.
Waktu niat puasa menurut Maliki adalah dari Maghrib sampai fajar.
Hanafi: Orang yang pingsan adalah seperti orang gila, dan orang gila hukumnya: Kalau gilanya itu selama satu bulan Ramadhan penuh, maka dia tidak diwajibkan mengqadhanya. Tetapi kalau gilanya itu hanya setengah bulan, dan setengah bulan akhirnya ia sadar, maka dia tetap harus berpuasa, dan wajib mengqadha' (menggan-tinya) hari-hari yang ditinggalkannya pada waktu gila.
Hambali: Bagi orang yang mabuk dan pingsan wajib mengqadha'nya (menggantinya), baik karena perbuatan dirinya atau karena dipaksa.
Imamiyah: Hanya bagi orang yang mabuk saja yang wajib mengqadlanya, baik karena perbuatan sendiri atau tidak, tetapi bagi orang pingsan, tidak diwajibkan meng-qadhanya, sekalipun pingsannya itu sebentar.
end
BAB 30
HAL-HAL YANG MEMBATALKAN PUASA
Yang membatalkan puasa adalah beberapa perkara yang wajib ditahankannya, dari terbitnya fajar sarnpai Maghrib, yaitu:
1. Makan dan minum dengan sengaja, karena keduanya dapat membatalkan puasa. Dan bagi orang yang makan dan minum dengan sengaja wajib meng-qadha'-nya, menurut semua mama mazhab. Tetapi mereka berbeda dalam menetapkan wajibnya membayar kifarah
Imamiyah dan Hanafi: Mewajibkan bayar kifarah.
Syafi'i dan Hambali: Tidak mewajibkan. Tetapi bagi orang yang makan dan minum dengan lupa, maka tidak harus mengqadha'nya dan tidak pula membayar kifarah
Hanya Maliki tetap mewajibkan mengqadha'nya (menggantinya) saja. (Merokok, yang biasa di isap manusia adalah termasuk dalam pengertian minum).
2. Bersetubuh dengan sengaja. la membatalkan puasa dan bagi yang melakukan persetubuhan, wajib mengqadha'nya. dan bayar kifarah, menurut semua ulama mazhab.
Membayar kifarah adalah memerdekakan budak, dan bila tidak mendapatkannya, maka ia harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Dan jika tidak mampu, maka dia harus memberi makan kepada enam puluh orang fakir miskin.
Kifarah itu boleh dipilih, menurut Imamiyah dan Maliki. Maksudnya seorang mukallaf diperbolehkan untuk memilih salah satu dari: Memerdekakan budak, puasa, atau memberi makan.
Tetapi menurut Syafi'i dan Hambali serta Hanafi: Harus secara tertib. Maksudnya, pertama harus memerdekakan budak, bila tidak mampu hendaklah berpuasa, bila tidak mampu juga hendaklah memberi makan.
Imamiyah: Wajib menghimpun kifarah-nya. yaitu memerdekakan budak, berpuasa dua bulan berturut-turut, dan memberi makan kepada enam puluh orang miskin, jika dia berbuka puasa karena melakukan hal-hal yang haram.
Sebagaimana kalau dia (orang yang berpuasa itu) makan sesuatu yang dimurkai Tuhan, atau minum minuman keras atau berzina. Tetapi kalau melakukan persetubuhan dengan lupa, maka puasanya tidak batal, menurut Hanafi, Syafi'i dan Imamiyah.
Namun menurut Hambali dan Maliki tetap membatalkan.
3. Istimma', yaitu mengerluarkan mani. la merusak puasa menurut ulama mazhab secara sepakat, bila dilakukan dengan sengaja, bahkan keluar madzi pun dapat merusak puasa, menurut Hambali. Maksudnya adalah madzi yang keluar karena disebabkan melihat sesuatu yang dapat membangkitkan gairah seks, atau sejenisnya bila dilakukan berulang-ulang.
Empat mazhab: Kalau hanya keluar mani wajib meng-qadha'-nyasaja, tanpa membayar kifarah. Imamiyah: Wajib mengqadha'nya dan bayar kifarah sekaligus.
4. Muntah dengan sengaja, dapat merusak puasa.
Dan menurut Imamiyah, Syafi'i dan Maliki: Wajib mengqadha'-nya.
Tetapi menurut Hanafi: Orang yang muntah tidak membatalkan puasa, kecuali kalau muntahnya itu memenuhi mulut.
Hambali ada dua riwayat, mereka sepakat bahwa muntah dengan terpaksa tidak membatalkan puasa.
5. Berbekam (bercaduk) juga membatalkan puasa, begitulah menurut pendapat Hambali khususnya. Mereka berpendapat bahwa yang mencaduk (membekam) dan yang dicanduk (dibekam) puasanya sama-sama batal.
6. Disuntik dengan yang cair. la dapat membatalkan (merusak) puasa. Dan bagi yang disuntik, wajib mengqadha' (menggantinya), begitulah menurut ulama mazhab secara sepakat.
Namun sekelompok Imamiyah menambah dengan kewajiban membayar kifarah, kalau dia (yang disuntik) tidak betul-betui dalam keadaan kritis (membahayakan).
7. Debu halus yang tebal (pekat) juga dapat merusak puasa, begitulah menurut Imamiyah khususnya. Bila debu yang halus itu masuk ke dalam lubang yang ada di tubuh kita, sepeti tepung dan semacamnya, ia dapat membatalkan puasa, karena ia lebih cepat masuk ke dalam tubuh kita dari pada suntikan,juga dari rokok yang biasa dihisap manusia.
8. Bercelak juga dapat membatalkan puasa, begitulah menurut Maliki khususnya. Dengan syarat dia bercelak pada waktu siang, dan dia merasakan rasa celak itu sampai kerongkongannya.
9. Memutuskan (membatalkan) niat puasa. Kalau orang yang berpuasa berniat untuk berbuka, kemudian dia berbekam (bercanduk), maka puasanya batal,
Menurut Imamiyah, Hambali.
Tetapi menurut mazhab-mazhab yang lain, tidak batal.
10. Mayoritas Imamiyah berpendapat: Orang yang menenggelamkan (menyelamkan) seluruh kepalanya ke dalam air bersama badannya atau tidak dengan badannya, ia dapat membatalkan puasanya, dan dia wajib menqadha'nya. (menggantinya) dan wajib juga membayar kifarah.
Tetapi menurut mazhab-mazhab yang lain, hal ini tidak membatalkan puasa.
11. Imamiyah: Orang yang sengaja melamakan dirinya berada dalam junub pada bulan Ramadhan sampai terbitnya fajar, maka puasanya batal, dan ia harus meng-qadha'nya. dan membayar kifarah.
Tetapi mazhab-mazhab yang lain: Puasanya tetap sah, dan tidak diharuskan untuk melakukan sesuatu, baik qadha' maupun bayar fidyah.
12. Imamiyah: Orang yang sengaja berbohong kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian berbicara dan menulis bahwa Allah dan Rasul-Nya berkata memerintahkan begini dan begitu, dan ia tahu bahwa ia berbohong dalam ucapannya itu, maka puasanya batal, dan ia wajib (harus) menqadha'nya dan membayar kifarah. Bahkan sebagian besar ahli mereka (Imamiyah) mewajibkan bagi orang yang berbohong ini untuk membayar kifarah dengan menghimpunnya, yaitu memerdekakan budak dan puasa dua bulan secara berturut-turut serta memberikan makanan kepada enam puluh orang miskin. Dari keterangan ini jelas, bahwa orang yang mengatakan bahwa Imamiyah membolehkan berbohong kepada Allah dan Rasul-Nya adalah berdasarkan kebodohannya dan kepicikannya dalam menilai Imamiyah.
end...
Rabu, 02 Januari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar